Gempa Lombok
pertama kali terjadi pada tanggal 29 Juli 2018 dengan kekuatan 6,4 SR. Disusul
gempa berikutnya yang lebih besar pada 5Agustus dengan kekuatan 7,5 SR. Setelah
itu diikuti dengan gempa-gempa susulan.
Berdasarkan
catatan BNPB yang dikutip dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika,
per Jumat 24 Agustus 2018, wilayah Lombok sudah diguncang oleh 1.089 kali gempa
susulan sejak gempa besar kali pertama 5 Agustus 2018. Dari 1.089 kali gempa
susulan tersebut, gempa yang dirasakan ada 50 kali (Viva.co.id, 24/8/2018).
Akibat gempa,
555 orang meninggal dunia. Terdapat 390.529 orang yang masih mengungsi. Mereka
masih memerlukan bantuan logistik (Viva.co.id, 24/8/2018).
Dalam minggu
ini, gempa susulan juga terjadi pada Minggu (26/8) dini hari di Kabupaten
Sumbawa Barat, NTB (CNNIndonesia.com, Minggu, 26/8). Kemudian pada Selasa (28/8/2018) juga
terjadi dua kali gempa di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hanya berselang lima menit.
Kekuatannya 6,2 Skala Richter dan 5,8 Skala Richter. (Detik.com, 28/8/2018).
Menyikapi Musibah
Musibah apa
pun, termasuk gempa bumi, merupakan bagian dari qadhâ'Allah SWT Ini yang harus
kita imani.
Katakanlah, "Tidak akan pernah
menimpa kami melainkan apa yang memang telah Allah tetapkan untuk kami. Dialah Pelindung
kami." Karena itu hanya kepada Allahlah kaum Mukmin harus bertawakal (TQS at-Taubah
[9]:51).
Karena itu
dalam menghadapi musibah apapun yang tak bisa ditolak, setiap Muslim harus
bersikap positif. Pertama, dengan selalu
bersikap sabar. Kesabaran ini harus terus dipupuk dan dipelihara.
Sebab
Allah SWT memang akan menguji sejauh mana kesabaran para hamba-Nya Orang-orang
yang sabar inilah yang kemudian Allah SWT gembirakan
Gembirakanlah
orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, "InnalilLahi wa inná ilayhi ráji'un. "Mereka itulah yang
bakal mendapat keberkahan dan rahmat dari Tuhan mereka. Mereka pula yang bakal
mendapat petunjuk (TQS al-Baqarah
[2]:155-157)
Kesabaran yang harus dibangun tentu bukan kesabaran yang bersifat pasif melainkan
kesabaran yang positif dan aktif. Dengan kata lain kesabaran itu disertai
dengan perenungan untuk menarik pelajaran guna membangun sikap, tindakan dan
aksi ke depan demi membangun kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Di
dalamnya termasuk untuk bisa melakukan mitigasí bencana secara lebih baik.
Dengan itu dampak dan kerugian yang diderita dalam berbagai aspeknya bisa
diminimalisasi.
Kedua, dengan
senantiasa lapang dada/ridha selain bertawakal dan mengembalikan semuanya
kepada Allah Yang Mahakuasa. Rasul saw. Bersabda :
Tidaklah seorang hamba ditimpa
musibah lalu ia berkata, "Inna lilLáhi wa innå ilayhi raji'un (Sungguh
kami adalah milik Allah dan kepada Dialah kami kembali), ya Allah, berilah aku
pahala karena musibahku ini, dan berlah aku pengganti yang lebih baik dari
musibah ini, kecuali Allah memberi dia pahala dalam musibahnya
dan mengganti musibah itu dengan yang iebih baik untuk dirinya (HR Muslim, Ahmad dan Ibn
Majah).
Hikmah
di Balik Musibah
Dengan sikap sabar dan ridha musibah yang
datang akan mendatangkan banyak hikmah dan kebaikan. Di antaranya: Pertama musibah bisa menghapus dosa.
Inilah yang disabdakan oleh Rasul saw. Tidaklah
seorang Mukmin tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengan itu Allah
meninggikan dia satu derajat atau Allah menghapuskan dari dirinya satu dosa
(HR Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad). Kedua, meialui bencana, Allah SWT ingin
menunjukkan kekuasaan-Nya kepada manusia. Allah SWT juga mengingatkan bahwa
manusia itu lemah, akalnya terbatas dan membutuhkan bantuan-Nya. Dalam hal
gempa bumi, faktanya akal dan pengetahuan manusia belum bisa memprediksi secara
akurat akan terjadinya gempa. Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan
Dini Tsunami BMKG Dr. Daryono M.Si menyebut tidak ada satu pun lembaga resmi
dan pakar yang kredibel dan diakui mampu memprediksi gempa. Bahkan ketika
didukung dengan teknologi yang lebih canggih sekalipun. "Pakar gempa dunia
pun sepakat bahwa gempa memang belum dapat diprediksi dengan akurat kapan di
mana dan berap a magnitudonya," jelas Daryono (CNNIndonesia.com,
24/8.
Maka dari itu tidak sepantasnya manusia
sombong di hadapan kekuasaan Allah SWT. Tak sepantasnya manusia menyangka telah
sanggup menguasai dan mengatur dunia seraya meninggalkan petunjuk Allah Yang
Mahabijaksana, dengan meninggalkan syariah-Nya.
Mengembalikan
Kesadaran Spiritual
Allah SWT mendatangkan musibah untuk
mengingatkan dan mengembalikan kesadaran spiritualitas manusia akan azab Allah
SWT.Allah SWT berfirman:
Apakah
kalian merasa aman dari (azab) Allah Yang (berkuasa) di langit saat Dia menjungkirbalikkan
bumi bersama kalian Lalu dengan itu tiba-tiba bumi berguncang? Ataukah kalian
merasa aman dari (azab) Allah Yang (berkuasa) di langit saat Dia mengirimkan
angin disertai debu dan kerikil Lalu kelak kalian akan tahu bagaimana (akibat
mendustakan) peringatan-Ku? (TQS
al-Mulk (67]: 16- 17).
Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya, Ma'alim
at-Tanzíìl, menjelaskan: lbn Abbas ra. berkata, "A amintum man fi
as-sama'i (Apakah kalian merasa aman dari apa yang ada di langit), yakni dari
azab Zat Yang ada di langit saat kalian bermaksiat kepada-Nya. An yakhsifa
bikum al-ardha faidzá hiya tamůr (Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kalian.
Lalu dengan itu bumi berguncang." Ai-Hasan berkata, Bumi bergerak beserta
penduduknya Dikatakan, bumi itu ambruk menimpa mereka. Maknanya, Allah
menggerakkan bumi pada saat perjungkirbalikan Akibatnya, bumi melemparkan
mereka ke bawah. Bumi lebih tinggi dari mereka dan berjalan di atas mereka”.
Allah SWT lalu menutup ayat berikutnya
dengan memberitahukan 'fasata'lamůna
kayfa nadzirlin". Imam lbn Katsir menjelaskan dalam Tafsir al-Qurân
al-Azhim: "Maknanya, bagaimana peringatan-Ku dan kesudahan orang yang
menyimpang dan mendustakan peringatan itu.
Jadi musibah yang menimpa itu pada
dasarnya untuk memberikan peringatan kepada manusia agar manusia kembali pada
kesadaran akan kemahakuasaan Allah SWT, Pencipta alam semesta. Dengan musibah,
manusia juga diharapkan menyadari betapa lemah dirinya dan betapa terbatas
kemampuannya. Dengan musibah, manusia juga diharapkan kembali menyadari bahwa
sebagai makhluk ciptaan dan hamba dari Al-Khaliq tidak selayaknya bermaksiat
kepada-Nya, menyimpang atau menyalahi peringatan (wahyu)-Nya serta mendustakan
dan mengabaikan hukum-hukum dan syariah-Nya.
Bangkit untuk Taat Kesadaran spiritual
sebagai efek positif dalam menyikapi musibah haruslah membangkitkan energi
penghambaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Energi untuk makin meningkatkan
ibadah kepada Allah SWT dalam arti yang seluas luasnya. Wujudnya adalah tunduk
dan patuh menjalankan dan menerapkarn hukum-hukum dan syariah-Nya secara
total di muka bumi.
Kesadaran spiritual ini juga harus
membangkitkan energi untuk melakukarn perbaikan dan meluruskan penyimpangan,
untuk menempuh jalan dan sistem yang benar yang bersumber dari wahyu Allah SWT.
Apalagi banyak musibah terjadi di antaranya selalu melibatkan peran dan
keterlibatan manusia. Allah SWT berfirman:
Musibah
apa saja yang menimpa kalian itu adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian
sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dosa-dosa kalian) (TQS asy-Syura [42]:30)
Keteribatan manusia itu boleh jadi di
antaranya berupa perilaku yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan terjadinya
musibah menurut sunatullah.
Boleh jadi pula berupa tindakan dan
kebijakan yang berakibat pada besarnya dampak musibah atau dalam hal penanganan
terhadap bencana yang terjadi.
Karena itu musibah yang terjadi haruslah
menumbuhkan kesadaran dan keberanian untuk meluruskan segala hal yang salah,
keberanian untuk melakukan perbaikan atas berbagai kerusakan (fasad) yang ada,
serta keberanian mengakhiri dan meninggalkan sistem rusak buatan manusia, yakni
ideologi dan sistem sekularisme-kapitalisme. Lalu mengganti sistem rusak itu
dengan ideologi dan sistem yang benar, yang telah Allah SWT telah turunkan.
Itulah ideologi dan sistem Islam. Itulah akidah dan syariah Islam yang memang
wajib diterapkan di dalam seluruh aspek kehidupan manusia; ekonomi, sosial,
politik, pemerintahan, hukum, peradilan, dll. WalLâh a'lam bi ash- shawâb.