Showing posts with label Geografi. Show all posts
Showing posts with label Geografi. Show all posts
Prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu
3.1.
Urgensi dan Manfaat Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu
Berdasarkan karakteristik dan
dinamika (the nature) dari kawasan
pesisir dan lautan , potensi dan permasalahan pembangunan, dan kebijakan
pemerintah untuk sektor kelautan maka pencapaian pembangunan kawasan pesisir
dan lautan secara optimal dan berkelanjutan tampaknya hanya dapat dilakukan
melalui pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT). Hal ini
paling tidak berdasarkan pada empat alasan pokok;
- secara empiris, terdapat
keterkaitan ekologis (hubungan fungsional), baik antar ekosistem di dalam
kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut
lepas.
- dalam suatu kawasan
pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan,
- dalam suatu kawasan
pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang
memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda sebagai, petani, nelayan,
petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri,
kerajinan rumah tangga, dan sebagainnya,
- baik secara ekologis dan
ekonomis, pemanfaatans suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentah
terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan
usaha.
PWPLT
memiliki beberapa keunggulan atau kelebihan jika dibandingkan dengan pendekatan
secara sektoral (IPPC, 1994), yaitu:
- PWPLT memberi kesempatan (oppurtunity) kepada masyarakat
pesisir (para pengguna sumberdaya pesisir dan lautan, atau stakeholder) untuk membangun
sumberdaya pesisir dan lautan secara berkesinambungan,
- PWPLT memungkinkan untuk
memasukan pertimbangan tentang kebutuhan secara aspirasi masyarakat
terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan
lautan baik sekarang maupun yang akan datang ke dalam perencanaan
pembangunannya,
- PWPLT menyediakan kerangka
(framework) yang dapat merespon
segenap fluktuasi maupun ketidak-menentuan (uncertainties) yang merupakan ciri khas dari ekosistem pesisir
dan lautan,
- PWPLT membantu pemerinyah
daerah maupun pusat dengan suatu proses yang dapat menumbuhkembangkan
pembangunan ekonomi serta meningktkan kualitas kehidupan masyarakat,
- meskipun PWPLT memerlukan
pengumpulan dan analisis data serta proses perencanaan yang lebih panjang
daripada pendekatan sektoral, tetapi secara keseluruhan akhirnya PWPLT
lebih murah ketimbang pendekatan sektoral.
3.2. Penerapan Konsep
Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu
Pembangunan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang
memberikan semacam ambang batas (limit)
pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya yang ada di dalamnya.
Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute),
melainkan merupakan batas yang luwes (flesible)
yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan
sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan
manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi
pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya
untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Secara garis
besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi: (1) ekologis,
(2) sosial ekonomi budaya, (3) sosial politik, (4) hukum dan kelembagaan.
Dimensi
Ekologis
Setiap ekosistem alamiah,
termasuk wilayah pesisir, memiliki empat (4) fungsi pokokbagikehidupan manusia:
(1) jasa-jasa pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyediaan
sumberdaya alam, (4) penerima limbah (Ortolano, 1984). Jasa-jasa pendukung
kehiduapan (life support services)
mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi ekosistem kehidupan manusia, seperti
udara dan air bersih serta ruang bagi
berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa-jasa kenyamanan (amenity sercices) yang disediakan oleh
ekosistem alamiah adalah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan
menyejukan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan kedamaian
jiwa. Ekosistem almiah juga menyediakan sumberdaya alam yang dapat dikonsumsi
langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi. Sedangkan fungsi penerima
limbah dari suatu ekosistem adalah kemampuannya dalam menyerap limbah dari
kegiatan manusia, sehingga menjadi suatu kondisi yang aman. Bedasarkan keempat
fungsi ekosistem di atas, secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat
menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu;(1) keharmonisan spasial,
(2) kapasitas asimilasi, (3) pemanfaatan berkelanjutan. Hendaknya tidak
seluruhnya dimanfaatkan untuk zona pemanfaatan, tetapi harus pula dialokasikan
untu zone preservasi dan konservasi yang luas minalnya adalah 30%-50% dari luas
keseluruhannya. Contoh zone preservasi adalah daerah peminjahan (spawning ground) dan jalur hijau pantai.
Dimensi
Sosial-Ekonomi
Secara sosial ekonomi dan budaya konsep
pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa pemanfaatan (keuntungan) yang
diperoleh dari kegiatan pembangunan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya
alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkankesejahteraan penduduk sekitar
kegiatan (proyek) tertebut, terutama mereka yang memiliki perekonomian yang
lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.
Untuk negara berkembang prinsip ini sangat mendasar kerena banyak kerusakan
lingkungan pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan
pasir pantai, dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar
pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya.
Dimensi
Sosial Politik
Ciri lhas kerusakan lingkungan adalah bahwa akibat
dari kerusakan ini biasanya muncul setelah beberapa waktu. Mengingat
karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka pembangunan berkelanjutan
hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan
transparan. Tanpa kondisisemacam ini , niscaya laju kerusakan lingkungan akan
melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.
Dimensi
Hukum dan Kelembagaan
Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk
tidak merusak lingkungan dan bagi kelompok the haves dapat berbagi kemampuan
dan rasa dengan saudara-saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya. Pesyaratan yang bersifat personal ini dapat berwibawa konsisten.
Serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap
warga dunia. Di sinilah peran serta sentuhan keagamaan akan sangat berperan.
3.3. Prinsip-Prinsip Dasar
dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu
sehubungan dengan karakteristik dan
dinamika ekosistem pesisir dan lautan, ada lima belas (15) prinsip dasar
(kaidah) yang patut diperhatikan dalam PWPLT. Kelima belas (15) prinsip dasar
ini sebagaianbesar mengacu pada Clark (1992) yaitu;
- wilayah pesisir adalah
suatu sumberdaya (resources sytem)
yang unik, yang memerlukan pendekatan khusus dalam merencanakan dan
mengelola pembangunannya,
- air merupakan faktor
kekuatan penyatu utama (the mayor
integrating force) dalam ekosistem wilayah pesisir,
- tata ruang darat dan
lautan harus direncanakan serta dikelola secara terpadu,
- daerah perbatasan antara
laut dan daratanhendaknya dijajadikan fokus utama (focal point) dalam setiap program pengelolaan wilayah pesisir,
- batas suatu wilayah
pesisir ditetapkan berdasarkan pada isu permasalahan yang hendak dikelola
serta bersifat adaptif,
- fokus utama dari
pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk mengkonservasi sumberdaya milik
bersama (common property resources),
- pencegahan kerusakan
akibat bencana alam dan konservasi sumberdaya alam harus dikombinasikan
dalam suatu program PWPLT,
- semua tingkat pemerintahan
dalam suatu negara harus diikutsertakan dalam perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir,
- pendekatan pengelolaan
yang disesuaikan dengan sifat dan dinamika alam adalah tepat dalam
pembangunan wilayah pesisir,
- evaluasi manfaat
ekonomi dan sosial dari ekosistem
pesisir serta partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan wilayah
pesisir,
- konservasi untuk
pemanfaatan yang berkelanjutan adalah tujuanutama dari pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir,
- pengelolaan multiguna (multiple uses) sangat tepat
digunakan untuk semua sistem sumberdaya
wilayah pesisir,
- pemanfaatan multiguna (multiple uses) merupakan kunci
kunci keberhasilan dalam pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan,
- pengelolaan sumberdaya
pesisir secara tradisional harus dihargai,
- analisis dampak lingkungan
sangat penting bagi pengelolaan wilayah pesisir secara efektif.
I.
Pertanyaan/Tugas
1. mendeskripsikan Proses
perencanaan dan pengelolaan
2. mendeskripsikan prinsip dasar
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu
II.
Sumber
Brodie,
J. 1995. Wate Quality and Polution Control.in Kenji Hotta and Aan Dutton (ED).
Coastal Management in the Asia Pasific: issues and approaches. Japan
International marine Science and Techology federation, Tokyo
Dahuri,
H., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.j., 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
Sloan,N.A.1993.
Effect of Oil on Marine Resources: A World Wide Literature Review Relation ti
Indonesia> Environment Management Development in Indonesia (EMDI) project
Jakarta.
Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi
Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup, Jakarta.
Potensi Wilayah Pesisir
3.1. Potensi Pembangunan
Wilayah Pesisir dan Lautan
Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah
pesisir dan lautan secara garis besar terdiri atas tiga kelompok; (1)
sumberdaya yang dapat pulih (renewable
resources), (2) sumberdaya yang tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental service).Pertanyaannya adalah
seberapa besar pemanfaatannya dapat dioptimalkan, akan sangat menguntungkan
untuk peningkatan produk domistik bruto dan kesejahteraan rakyat.
A.
SUMBERDAYA DAPAT PULIH
1.
Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama
pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai
fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat peminjahan
dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin taufan, dan
tsunami,penyerap limbah pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya. Hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomis
penting seperti, penyedia kayu, daun-daun sebagai bahan baku obat-obatan.
Segenap kegunaan ini telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian besar
masyarakat pesisir di tanah air. Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dimanfaatkan
secara optimal adalah sebagai kawasan wisata alam (ecotourism). Padahal di negara lain seperti, Malaysia dan
Australia, kegiatan wisata alam di kawasan hutan mangrove sudah berkembang dan
menguntungkan.
Ekosistem hutan mangrove di
Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah
total spesies sebanyak 89, terdiri atas, 35 spesies tanaman,, 9 spesies perdu,
9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987).
Tingginya keanekaragaman hayati hutan mangrove ini merupakan aset yang sagat
berharga tidak saja dilihat dari fungsi ekologinya tetapi juga fungsi
ekonominya.
2.
Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas
organik yang sangat tinggi dibandingkan ekosistem yang lainnya, demikian pula
dengan keanekaragaman hayatinya. Disamping mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrien bagi biota laut, perlindungan fisik, tempat peminjahan, tempat
bermain dan asuhan bagiberbagai biota; terumbu karang juga menghasilkan
berbagai macam produk yang mempunyai nilai ekonomis penting, seperti berbagai
jenis ikan, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara.
Di beberapa tempat di Indonesia,
karang batu (hard coral) dipergunakan
untuk berbagai kepentingan seperti kontruksi jalan dan bangunan, bahan baku
industri, dan perhiasan. Dalam industri pembuatan kapur, karang batu
kadang-kadang ditambang sangat intensif seperti di Bali hingga mengancam
keamanan pantai. Dari segi estetika, terumbu karang yang masih utuh menampilkan
pemandangan yang sangat indah. Taman-taman laut yang terdapat di pulau atau
pantai yang mempunyai terumbu karang menjadi terkenal, seperti; Taman Laut
Bunaken di Sulawesi Utara. Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang
merupakan salah satu potensi wisata bahari yang belumoptimal dimanfaatkan.
Indonesia memiliki kurang lebih
50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah
pesisir dan lautan di seluruh Nusantara. Terumbu karang di Indonesia sangat
bergam jenisnya, dimana semua tipe terumbu karang penghalang (barrier reefs), terumbu karang cincin (atoll) dan terumbu tambahan (patch reefs) terdapat di perairan
Indonesia. Terumbu karang tepi terdapat di sepanjang pantai mencapai
kedalamantidak lebih dari 40 m, terumbu karang penghalang berada jauh dari pantai (mencapai puluhan atau ratusan km) dipisahkan
oleh laguna yang dalam sekitar 4-50 m.di Indonesia diantaranya tersebar di
Selat Makasar, dan sepanjang tepian Paparan Sunda, sedangkan terumbu karang
cincin tersebar sekitar Kepulauan Seribu dan Taka Bone Rate.
3.
Padang Lamun dan Rumput Laut
Lamun (seagrass)
adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup di
bawah permukaan air laut. Lamun hidup di perairan dangkan dan agak berpasir.
Tumbuhan lamun tumbuh tegak, berdaun tipis yang bentuknya mirip pita dan
berakar jalar. Tunas-tunas tumbuhan dari rhizoma,
yaitu bagian rumput yang tumbuh menjalar di bawah permukaan dasar laut.
Berlawanan adengan tumbuhan lain yang hidup terrendam dalam laut (misalnya
ganggang/alga laut), lamun berbuah dan menghasilkan biji. Pertumbuhan padang
lamun memerlukan sirkulasi air yang baik. Semua tipe dasar laut dapat ditumbuhi
lamun, namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar laut lumpur
berpasir lunak dan tebal. Padang lamun sering terdapat di perairan laut antara
hutan mangrove dan terumbu karang (Dahuri, dkk,
2001).
Fungsi padang lamun di lingkungan
pesisir, menurut koesoebiono (1995) adalah sebagai berikut;
- sistem perakaran lamun
yang padat dan saling menyilang dapat menstabilkan dasar laut dan
mengakibatkan kokoh tertanamnya lamun dalam dasar laut,
- padang lamun berfungsi
juga sebagai perangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan,
- padang lamun segar
merupakan makanan bagi ikan duyung (yang senarnya bukan jenis ikan, melainkan
hewan menyusui) penyu laut, bulu babi dan berbagai jenis ikan. Padang
lamun merupakan daerah pengembalaan (grazing
ground) yang penting artinya bagi hewan-hewan laut tersebut. Ikan laut
lainnya dan udang tidak makan daun segar tersebut, melainkan makan serasah
(Detritus) dari lamun. Detritus ini tersebar luas oleh arus ke perairan
di sekitar padang lamun,
- padang lamun merupakan
habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan berukuran kecil) dan udang,
- pada permukaan daun laun,
hidup melimpah ganggang-ganggang renik (biasanya ganggang bersel tunggal)
hewan-hewan renik dan mikroba, yang merupakan makanan bagi berbagai jenis
ikan yang hidup di padang lamun,
- banyak jenis ikan dan
udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun menghasilkan larva yang
bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar. Bagi larva-larva ini padang
lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan yang optimal bagi
pertumbuhannya. Dengan demikian perusakan padang lamun berarti merusak
daerah asuhan (nursery ground)
larva-larva tersebut,
- daun lamun berperan
sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni padang lamun dari sengatan
matahari,
- tumbuhan lamun dapat
digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk.
Sementara
itu potensi rumput laut (alga) di perairan Indonesia dapat diamati dari potensi
lahan budidaya rumput laut yang trsebar di Indonesia. Potensi usaha rumput laut
di Indonesia mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar
482.400 ton/tahun. Sampai saat ini rumput laut hanya dimanfaatkan secara
tradisional oleh masyarakat pesisir tertama untuk bahan pangan, seperti untuk
lalapan, sayur, acar, manisan, dan kue. Selain itu rumput laut juga digunakan
untuk bahan obat-obatan. Pemanfaatan untuk industri dan sebagai komuditas
ekspor baru berkembang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, meskipun
ada catatan yang menunjukkan bahwa perdagangan rumput laut dengan Cina sudah
berlangsung sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
4.
Sumberdaya Perikanan laut
Pengertian sumberdaya perikanan laut sebagai
sumberdaya yang dapat pulih sering ditafsirkan sebagai sumberdaya yang dapat
dieksploitasi secara terus menerus tanpa batas. Potensi sumberdaya perikanan
laut di Indonesia terdiri atas sumberdaya perikanan pelagis sebesar (451.830
ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumberdaya perikanan
demersal (3.163.630 ton/tahun), ikan karang (80.082 ton/tahun)dan cumi-cumi
(328960 ton/tahun). Dengan demikian, secara nasional potensi lestari sumberdaya
perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun
dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Ditjen perikanan, 1995).
5.
Bahan-Bahan Bioaktif
Bahan-bahan bioaktif (bioactive substances) atau berbagai macam bahan kimia yang
terkandung dalam tubuh biota perairan laut merupakan potensi yang sangat besar
bagi penyediaan bahan baku industri farmasi, kosmetik, pangan, dan industri
bioteknologi lainnya. Pemanfaatan bahan-bahan bioaktif (natural product) dari biota pesisir dan lauta, seperti omega-3, sunclorela, dan lainnya,
praktis belum berkembang. Padahal negara-negara lain, seperti malaysia, Amerika,
dan Jepang, industri bioteknologi yang mengelola bahan-bahan bioaktif dari laut
ini telah menjadi salah satu industri andalan. Kawasan pesisir dan lautan
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang paling tinggi di dunia. Dngan
demikian, industri bioteknologi, yang diramalkan oleh John Naisbit dalam Megatrend 2000 mapun Alfin Tofler dalam The Third Wave, akan menjadi industri
masa depan, seharusnya dapat dikembangkan dan dinikamati hasilnya.
B. SUMBERDAYA TIDAK DAPAT PULIH
Sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable resources) meliputi seluruh mineral dan geologi.
Mineral terdiri atas tiga kelas, yaitu; kelas A (mineral strategis; minyak
bumi, gas, dan batu bara), kelas B (mineral vital; emas, timah, nikel, bauksit,
bijih besi, dan cromit), dan kelas C (mineral industri; termasuk bahan bangunan
dan galian seperti; granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan pasir). Cadangan migas
terdapat di 60 cekungan (basin)
yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan lautan., seperti Kepulauan
Natuna, Selat Malaka, Pantai selatan pulau Jawa, Selat Makasar, dan Celah
Timor. Isu yang beredar akhir-akhir ini tentang laut Banda, bahwa di tempat
tersebut menyimpan banyak cadangan minyak bumi, akan tetapi keberadaannya
memerlukan teknologi tinggi dan biaya besar untuk mengeksploitasinya, sehingga
belum bernilai ekonomis untuk masa sekarang.
Selain potensi mnyak bumi, wilayah
pesisir dan lautan juga mengandung sumberdaua mineral logam yang mempunyai
nilai ekonomis. Timah putih (Sn) dan Zircon juga terdapat pada wilayah ini,
terutama di Kepulauan bangka-Belitung dan kalimantan Barat. Deposit posfat
telah ditemukan di laut Timor. Mangan Oksida terdapat dui laut Banda, Seram,
dan Maluku, serta di wilayah Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) dekat
Sumatera Barat. (Lautan Hindia) dan Irian Jaya (Lautan Pasifik). Ferrometalic nodules terdapat di
wilayah pesisir Sulawesi Utara, dan bijih besi dapat ditemukan hampir di
sepanjang pantai Selatan Jawa. Chromite
terdapat di wilayah pesisir Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Corbonaceous coral reefs tersebar secara
ekstensif di Kawasan Timur Indonesia
(KTI), terutama di sekitar Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Selat Makasar.
Sementara itu, bahan bangunan, seperti; tanah liat, pasir, dan kerikil tersebar
hampir di seluruh wilayah pesisir dan lautan Indonesia. Sampai saat ini hanya
timah, bauksit, bijih besi, pasir dan kerikil yang sudah dimanfaatkan
(Robertson Group plc. dan PT Agriconsult International, 1992). Penelitian
Baruna Jaya II telah mengidentifikasi keberadaan mineral mangan (Mn) dan emas
(Au) di daerah perairan bangka dan Teluk Bone.
Berdasarkan keadaan geologi
regional, logammulia (emas) sekunder diperkirakan terdapat di daerah Selat
Sunda (sekitar perairan Lampung), perairan Kalimantan Selatan (sekitar daerah
muara Sungai Barito ke arah Pulau Laut), dan di daerah perairan Maluku Utara
dan Sulawesi Utara. Sedangkan mangan noduler (manganese nodule) diduga terdapat di Laut Banda danlaut dalam
lainnya. Sumberdaya geologi sektor pertambangan lainnya yang telah
dieksploitasi adalah bahan baku industri dan bahan bangunan, antara lain kaoli,
pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil, dan batu pondasi. Pemanfaatan sumberdaya
geologi sektor pertambangan, geoteknik, dan kelautan merupakan bukti berperan
aktifnya sumberdaya wilayah pesisir dalam kegiatan pembangunan, yang diusahakan
berkesinambungan dan berwawasan lingkungan. Adapun penyebaran potensi dan
tingkat pemanfaatan mineral laut Indonesia dapat dilihat pada Tabel 11.1.
Tabel 11.1. Penyebaran Potensi
dan Tingkat Pemanfaatan Mineral Laut Indonesia
No
|
Jenis
|
Lokasi
|
Potensi
|
Tingkat
Pemanfaatan
|
1.
|
Minyak
Bumi
|
Lepas
pantai
|
3 milyar barrel
|
40%
|
2.
|
Gas
Aalam
|
Lepas
pantai
|
5 milyar barrel setara minyak bumi
|
30%
|
3.
|
Timah
|
Bangka,
Belitung, Singkep, karimun, dan Kundur
|
NA
|
NA
|
4.
|
Mineral
radio Aktif (Th)
|
Bangka,
Belitung, Singkep, karimun, dan Kundur
|
NA
|
NA
|
5.
|
Chrom
|
Pantai
Timur Sulawesi
|
NA
|
NA
|
6.
|
Fosfor
|
Selatan
Timor
|
NA
|
NA
|
7.
|
Logam
(Fe, Mn, Cu, Ni)
|
Kepulauan
Sangihe dekat Gn.Awu
|
NA
|
Na
|
8.
|
Bijih
Besi
|
Pantai
selatan Jawa dan Pantai Barat Sumatera
|
NA
|
NA
|
9.
|
Mangan
|
Pantai
arat Sumatera, Selat Lombok, Laut Banda, P.Damar, Utara Manado, Halmahera,
Utara Kepala Burung Irja
|
NA
|
NA
|
Sumber: Katali dan Hartono, 1987, The marine
Coastal Sector Definition Mission, 1987, dalam Dahuri, dkk, 2001.
Keterangan: NA = tidak ada data
tersedia
C.
Jasa-Jasa Lingkungan
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia juga memiliki
berbagai macam jasa-jasa lingkungan (environmental
services) yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan
hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan
sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi,
sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan,
penampungan limbah, pengatur iklim (climate
regulator),kawasan pelindung (konservasi dan preservasi), dan sistem
penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.
Wilayah pesisir dan lautan ini juga
memiliki potensi sumberdaya energi yang cukup besar dan belum dimanfaatkan
secara optimal. Padahal sebagaimana diketahui, wilayah pesisir dan lautan sudah
dijajaki sebagai salah satu sumber energi alternatif kerena risiko polusi
terhadap lingkungannya kecil. Sumber energi yang dapatdimanfaatkan tersebut
antara lain; arus pasang-surut, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan
pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam
perairan yang dikenal dengan OTEC (Ocean Thermal
Energy Conversion).
1. OTEC
(Ocean Thermal Energy Conversion)
OTEC
(ocean Thermal Energy Conversion)
adalah salah satu bentuk pengalihan energi yang tersimpan dari sifat fisika air
laut menjadi energi listrik. Suhu air laut akan menurun sesuai dengan
bertambahnya kedalaman. Perbedaan suhu air permukaan dengan suhu air di bagian
dalam dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Perbedaan suhu
secara vertikal sangat besar terjadi di laut tropis sehingga Indonesia yang
merupakan salah satu negara yang beriklim tropis sangat potensial untuk
mengembangkan OTEC sebagai salah satu
energi alternatif.
Proses
pemanfaatan perbedaan suhu air permukaan laut, biasanya menggunakan pusat
pembangkit energi yang ditempatkan di permukaan laut dan dilengkapi dengan
sebuah pipa panjang yang menjulur ke arah dasar laut sehingga perbedaan suhu
mencapai 200 C. Keadaan tersebut dapat terjadi pada kedalamanan
lebih dari 1.000 m. Dengan menggunakan pompa, air dingin dari kedalaman
dialirkan ke permukaan., selanjutnya digunakan untuk mengubah amoniak dari
bentuk gas menjadi cair. Amoniak cair lalu dipanaskan oleh air hangat permukaan
sehingga menguap menjadi gas kembali. Selama proses perubahan dari fase cair
menjadi fase gas dan fase gas menjadi fase cair, amoniak berputar membuat
siklus yang dapat menggerakan turbin sehingga dapat menghasilkan daya listrik.
2.
Energi dari Gelombang Laut
Gelombang
laut sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif di hampir
seluruh wilayah pesisir dan lautan dunia. Pembangkit listrik semacam ini sesuai
dibangun di daerah perairan yang memiliki angin yang cukup kuat dan dasar
perairan pesisir yang memungkinkan gelombang dapat mencapai pantai secara
paralel (sejajar).
Wilayah
pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat
potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia.
Ini termasuk keindahan pantai dan bawah
laut untuk industri wisata bahari, pendidikan dan penelitian, media
perhubungan, pengendalian iklim global, dan penampung limbah.
3.
Energi Pasang-Surut
pasang-surut dapat dikonversi menjadi energi
listrik, terutama pada daerah-daerah teluk atau estuaria yang memiliki
amplitudo pasang-surut 5sampai 15 m. Metode yang digunakan adalah mengendalikan
ketinggian muka air dengan membangun dam.
Secara alami, permukaan air teluk
atau kolam perairan yang dibatasi dengan bangunan permanen., akan naik dan
turun setiap harinya. Energi kinetik dari gerak itulah yang kemudia digunakan
untukmenggerakan turbin pembangkit tenaga listrik. Perkiraan total energi yang dapat dihasilkan
oleh pasang surut diperkirakan mencapai 3 x 106 megawatt atau 3 x 1012
kilowatt. Tenaga pasang-surut mulai
dikembangkan secara komersial oleh Perancis sejak tahun 1966. pembangkit
listrik tenaga pasang-surut di daerah Estuarian
Rance merupakan yang pertama di dunia dan dapat menghasilkan 240
megawatt (dapat menghidupkan 10 12 bola
lampu berkekuatan 240 watt sekaligus).
I.
Pertanyaan/Tugas
1. jelaskan karakteristik
sumberdaya yang dapat pulih (renewable
resources)?
2. jelaskan karakteristik
sumberdaya yang tidak dapat pulih (unrenewable
resources)?
3. jelaskan jasa-jasa lingkungan
yang terdapat pada wilayah pesisir dan lautan?
II.
Sumber
Dahuri,
H., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.j., 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi
Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup, Jakarta.
Koesoebiono,
1995. Ekologi Wilayah Pesisir, PPLH-LP-IPB Bogor.
Nontji,
A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit
Djambatan, Jakarta.Formula yang digunakan dalam penentuan dinamika pantai
3.1.
Penentuan Dinamika Pantai
Dinamika
pantai merupakan suatu proses alamiah untuk menuju keseimbangan alamiah, karena
proses yang terjadi pada suatu tempat juga terjadi pada tempat lain. Jika suatu
tempat mengalami erosi pantai maka di tempat lainnya akan mengalami deposisi
atau sedimentasi. Indonesia terletak di daerah iklim tropis basah, sehingga
proses pelapukan, erosi pada lahan atas aktif. Proses tersebut akan
menghasilkan muatan sedimen yang diangkut oleh air sungai cukup besar dan
bervariasi. Sudah barang tentu hasil sementasi yang mencapai pantai akan
berpengaruh besar terhadap perkembangan garis pantai dan lingkungan pantainya.
Sutikno (1993) menyatakan pertumbuhan pantai di indonesia
bagian barat sangat bervariasi. Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan (a) muara Jambi (1822-1922) = 75 m/th, (b)
muara sungai Kwantan (1600-1922) =360 m/th, (c) pantai Semarang = 8-12 m/th,
(d) delta Bodri (1913-1929) =200 m/th, (e) Sungai Landak kalimantan Barat =110
m/th, (f) sungai Cimanuk =108 m/th, (g) pantai sumatera Timur rata-rata =125
m/th, (h) pantai Utara Jawa =200 m/th disamping itu yang tererosi 10-20
m/th. Faktor yang mempengaruhi pebedaan
pertumbuhan atau dinamika pantai tersebut adalah; ukuran sungai, ukuran daerah
aliran sungai, volume silt yang
terangkut, arus memanjang pantai, badai, topografi dasar laut, konfigurasi
dasar laut, tektonik dan vulkanik, vegetasi (land use).
Dinamika atau pertumbuhan
pantai dapat diidentifikasi melalui beberapa cara, yaitu;
- melalui
interpretasi foto udara dan atau citra penginderaan jauh (Landsat, Spot),
- melalui
analisis peta tematik yang ada,
- melalui
pengamatan dan pengukuran lapangan.
Pengukuran dinamika
pantai melalui interpretasi foto udara dapat dilakukan dengan menggunakan foto
udara multi temporal, baik foto udara berwarna maupun foto udara pankromatik
dengan skala yang sama. Foto udara tersebut dioverlaykan kemudian diamati
dinamika pantainya, yaitu meliputi perkembangan muara sungai atau estuaria,
garis pantai (shore line), akresi,
abrasi/erosi pantai, arah muatan sedimentasi dari sungai. Foto udara sering
digunakan untuk interpretasi dinamika pantai untuk daerah yang sempit dengan
skala yang lebih besar. Sedangkan penggunaan citra satelit sering digunakan
untuk pengamatan dinamika pantai untuk daerah yang luas dengan skala yang
relatif kecil. Pengamatan dinamika pantai melalui citra satelit ini biasanya
dilakukan dengan bantuan perangkat komputer dengan soft ware pengolah citra seperti Ermapper, Envi, dan Ilwis. Pengamatan dilakukan
terhadap dinamika pantai tersebut dilakukan dengan mengubah komposit saluran
yang digunakan pada soft ware
pengolah citra (image prosesing).
Pengamatan dinamika
pantai melalui analisis peta tematik tertentu dapat dilakukan menggunakan peta
tematik multi temporal yang memiliki skala yang sama, misalnya dengan
menggunakan peta topografi terbitan Jantop, 1985 sebagai peta dasar dengan peta terbitan
Belanda yaitu tahun 1943. Untuk pengamatan dinamika pantai tersebut biasanya
digunakan titik kunci sebagai pengontrol koordinat geografis di lapangan. Titik
kontrol di lapangan tersebut biasanya dalam bentuk bangunan atau persimpangan
jalan, dan monument. Kedua peta
tematik tersebut di overlaykan kemudian diamati dinamika atau perubahan
terhadap garis pantainya, yaitu luasan perubahan garis pantai terhadap daratan,
jarak garis pantai terhadap titik kontrol lapangan dalam satuan meter (m) atau
kelometer (km).
Pengamatan dinamika
pantai melalui pengamatan dan pengukuran lapangan dapat dilakukan dengan
pendekatan geomorfologi yaitu pengamatan satuan lahan (land unit) pada lahan pantai. Menurut Sutikno (1993) pendekatan
satuan lahan (land unit) dapat
digunakan untuk dasar evaluasi suatu lahan pantai untuk tujuan tertentu.
Kerangka dasar dalam penyusunan satuan lahan (land unit) adalah bentuklahan, yang nantinya digunakan sebagai
satuan evaluasinya. Unsur yang digunakan untuk membuat satuan bentuklahan
adalah proses, material, dan relief. Pada daerah pantai, ketiga aspek
bentuklahan tersebut dapat diidentifikasi dari foto udara atau citra
penginderaan jauh. Satuan lahan (land
unit) dapat dibuat dengan membagi satuan bentuklahan, lereng, tanah, dan
vegetasi. Atas dasar veriabel-veriabel tersebut dapat diketahui bahwa setiap
satuan lahan mempunyai kemiripan karakteristik. Kemiripan karakteristik dalam
satuan lahan dapat dijadikan dasar untuk penilaian terhadap aspek lingkungan
fisik. Satuan lahan (land unit) di
daerah pantai dapat dibedakan menjadi dua arah, yaitu tegak lurus terhadap
pantai, dan paralel terhadap garis pantai. Mintakat yang tegak lurus terhadap
pantai meliputi; backshore, foreshore, offshore, swash, I, dan
pecahnya gelombang, sedangkan mintakat yang paralel terhadap garis pantai
meliputi; head/land, barrier, spit, pulau penghalang, rataan pasang-surut, longsor bars, berm, dan dand dune. Sebagai contoh penggunaan
karakteristik satuan lahan (land unit)
untuk menganalisis dinamika pantai dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel
5.1. Relationship between terrain Unit
and various Terrain Characteristics
Terrain
Unit
|
Terrain
Characteristics
|
||||||
Code
|
Name
|
Relief-morphology
|
Processes
|
Rock
Type
|
Soil
|
Hydrologic
Situation
|
Vegetaion-
Land Use
|
a
|
Beaches
|
Almost
flat terrain, gently sloping towards the sea
|
|
Mud,
sand or pebbles in tropical countries, beach rock may be formed by
sedimentation of the clastic material
|
No
soil development
|
Rain
or sea water may be ponded and graound water may seep out mear the scarp with
the hinterland incidewntly
|
Typical
absence of vegetation: no agriculture, fish ponds or salt pans may be pound
in a tropical environmental
|
a-1
|
Muddy,
sandy, pebbly
|
Smooth
surface
|
Active
marine aggradation may be more predominant than degradation
|
Mud,
sand, or pebbles in tropical countries, beach rock may be formed by
sedimentation of the clastic materials
|
|
|
|
a-2
|
Rocky
|
Frequntly
rough surface
|
Active
marine degradation is predominant
|
All
kind of rock
|
|
|
|
b.
|
Beach
ridges
|
Elongated
ridges, more or less parallel to one another, varying to height. The surface
may be smooth, or irrigular if eroded or reworked by wind action. Elongated,
almost flat bottomed depressions may separate the ridge
|
In
general , slow denudational processed. If unvegetated and strong wind action,
deflation will be active, transforming the ridges into coastal dunes. The
interridge depressions may be flooded from time to time
|
Basically
sand, but gravel and shells may be included or dominante. The interridge
depressions may contain finer sediments.
|
Young
beach ridges may have a vary limited soil development.older ridges,
especially in the humid tropics, may have deep soils. The interridge
depressions may display soil development
|
In
principle, in drained ground water may be available, particularly in intensive
beach ridge complexes. The interridge depressions are frequently wet
|
Cover
of natural vegetation typically ranges from open to dense. In the humid
tropics the (older) ridges are the best places to live and are used for
gardening, etc. The interridge depressions are densely vegetated or in
agriculture use (e.g. rice in the propics).
|
c.
|
Coastal
dunes
|
Sloping
to steeply sloping, irrigular terrain.
|
Wind
action is the dominant process, sand is blown away or silted up, depending on
the vegetation cover.
|
Sand,
maybe some small pebbles or shell fragments
|
Initial
soil development, depending on the age of dunes and the climate (see b)
|
Basically
well drained. In the depressions (blowwn outs) ground water may be near or at
the surface; an aquifer may be found
|
Cover
of natural vegetation typically range from open (wind-active parts) to dense
(inactive parts; depressions). Agriculture mostly absent
|
Sumber:
Sutikno, 1993
Pengukuran dinamika
pantai di lapangan dapat dilakukan dengan mengukur beberapa karakteristik suatu
pantai yang mempengaruhi kecepatan laju dinamika pantai (Pethick 1984). Karakteristik fisik pantai yang diukur di lapangan yaitu, berupa:
1. panjang gelombang (L)
panjang gelombang
di daerah pantai dapat diukur dengan menggunakan formula:
L=
(gT2/2π)x r .............................................................................................. (1a)
Atau
L=
1,56 T2 .................................................................................................... (1b)
2.untuk mengetahui kecepatan
gelombang (c) digunakan formula sebagai berikut:
c=
L/T ......................................................................................................... (2a)
atau
c = 1,56 T ............................................................................................. (2b)
untuk
perairan dalam C = gT/2 π ................................................................... (2c)
3. untuk mengetahui energi
gelombang (E) digunakan formula sebagai berikut:
E
= 1/8 ρgH2 ................................................................................................................................................................................................... (3)
4. untuk mengetahui indeks hempasan gelombang
digunakan formula sebagai berikut:
I
= Hb /gm T2 ................................................................................................................................................................................................. (4)
5. untuk mengetahui kecepatan arus sepanjang
pantai (longshore curreent) (v)
digunakan formula sebagai berikut:
v
= 20,7 tgβ (gHb ) 1/2 sin 2αb ................................................................................................................................................... (5a)
atau
vt = 1,19 (g x Hb) ½ sin αb cos αb ....................................................................................................................... (5b)
6. untuk mengetahui laju angkutan atau
transportasi sedimen (Q) digunakan formula
Q
= 1,646 x 106 Hb2 ............................................................................................................................................................................. (6)
Atau
total angkutan sedimen Q = 6,8 Pe ....................................................... (6b)
7. untuk menentukan kecepatan angin pada
ketinggian 10 m digunakan formula sebagai berikut:
U10
=U(z) (10/z) 1/7 ....................................................................................... (7)
8. untuk menentukan kecepatan angin di muka laut
digunakan formula sebagai berikut:
U
= RT x RL (U10); U = Uw ............................................................................................................................................................ (8)
9. untuk menentukan tinggi gelombang digunaka
formula sebagai berikut:
H
= 0,031(U)2 ............................................................................................................................................................................................... (9)
10. untuk menentukan periode gelombang digunakan
formula sebagai berikut;
T
= √ (2π L/g)atau T2 = 2π L/g ...................................................................... (10)
11. untuk menentukan tinggi hempasan gelombang
digunakan formula sebagai berikut;
Hb
= 0,39 x g 1/5 (T x H2) 2 /5 ................................................................................................................................................... (11)
12. untuk menentukan amplitudo gelombang digunakan
formula sebagai berikut;
a
= ½ H ....................................................................................................... (12)
13. untuk menentukan kekuatan gelombang digunakan
formula sebagai berikut;
Pe
= (ECn) sin αb cos αb
14. untuk mengetahui faktor penentu akresi atau
erosi/abrasi pantai digunakan formula:
G0
= {(H0/L0) + tgδ}0,27 (d50 /L0)-0,67
................................................................... (14)
Keterangan:
L
: panjang gelombang (m)
T : periode gelombang (detik)
z : ketinggian pengukuran kecepatan
angin (m)
U : kecepatan angin terkoreksi di muka
laut (m/dt)
RT :faktor koreksi,
dipengaruhi oleh beda suhu laut dan udara, dicari dari grafik/nomogram (jika
tidak ada data suhu, diasumsikan RT =1,1)
RL :faktor koreksi, dipengaruhi oleh letak
anemometer, dicari dari grafik/nomogram (jika letak anemometer dekat pantai,
nilai RL =1,1)
H : tinggi gelombang (m)
F : fetch
(jarak antara timbulnya angin hingga lokasi gelombang) dalam km
a : amplitudo gelombang
g : kecepatan gravitasi (9,8 m/dt2)
π : 3,14159
vt : kecepatan arus sepanjang pantai
(m/dt)
C : kecepatan gelombang pada perairan
dalam (m/dt)
Pe : kekuatan gelombang (watts/meter)
E : energi gelombang
Ρ : berat jenis air laut (1,025 kg/m3)
n : fungsi kedalaman air (0,5 untuk air
dalam; 1 untuk air dangkal)
αb : sudut datang hempasan (derajat 00)
Q : total angkutan sedimen (m3/hari)
Hb : hempasan
Ho : tinggi gelombang maksimum di lapangan
(m)
Lo : panjang gelombang
D50 : median ukuran butir atau ukuran
persentil ke-50 dari sampel sedimen
Β : sudut lereng dasar tepi pantai =
sudut lereng gisik (derajat
Go : faktor penentu akresi atau erosi
pantai (tanpa satuan)
Untuk menentukan besaran mean,
standar deviasi, dan skewness atau
kemencengan dari sampel sedimen marin digunakan formula sebagai berikut:
μ= mean
ukuran butir
Standar
deviasi ukuran butir
Kemencengan (skewness)
Jika Go < 0,0556, maka pantai mengalami
erosi
Jika
Go > 0,1111, maka pantai mengalami akresi
Jika
0,0556 ≤ 0,1111, maka pantai berada dalam suatu keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium).
Adapun hasil pengukuran
lapangan yang pernah dilakukan di Pantai Krakal, Pantai Drini dan Pantai
parangkusumo dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Hasil Pengukuran dan
Perhitungan Parameter Gelombang
No
|
Parameter
Gelombang
|
Pantai
Krakal
|
Pantai
Drini
|
Pantai
Parangkusumo
|
1.
|
Periode
panjang gelombang (T): detik
|
13,25
|
11
|
1,5
|
2.
|
Tinggi
gelombang (H):meter
|
1,5
|
1,5
|
1,75
|
3.
|
Tinggi
hempasan gelombang (Hb):meter
|
1,75
|
1,75
|
19%=0,19
|
4.
|
Kemiringan
dasar pantai/gisik (m):% (tgα dalam 0)
|
21,7%=0,217
|
22,5%=0,225
|
10,8
|
5.
|
Sudut
lereng gisik (β): 0
|
12,3
|
12,6
|
15-20
|
6.
|
Sudut
antara puncak gelombang dengan garis pantai (αb): 0
|
15-20
|
25-30
|
10,8
|
7.
|
Sudut
kemiringan tepi pantai (δ):0
|
12,3
|
12,6
|
|
8.
|
Kecepatan
angin :cm/dt
|
1,37
|
6,6
|
|
9.
|
Arah
angin
|
1100NE
|
|
|
10.
|
Arah
arus sepanjang pantai
|
2380NE
|
|
|
Sumber: Damayanti, 2001
Hasil pengukuran dan
perhitungan data lapangan tentang
parameter gelombang dapat dilihat pada Tabel 5.3 sebagai berikut:
Tabel 5.3. Hasil Perhitungan
Parameter Gelombang
No
|
Parameter Gelombang
|
Pantai Krakal
|
Pantai Drini
|
Muara Opak
|
1.
|
Panjang
gelombang (L): meter
|
273,87
|
188,76
|
156
|
2.
|
Energi
gelombang (E): joule
|
2828,04
|
2828,4
|
2828,04
|
3.
|
Indeks
hempasan gelombang (I)
|
0,004
|
0,006
|
0,0025
|
4.
|
Kecepatan
arus sepanjang pantai (v) :m/dt
|
9,3-11,96
|
9,65-12,4
|
8,15-10,47
|
5.
|
Laju
angkutan sedimen/transportasi sedimen (Q) : x 106m3/th
|
5,04
|
5,04
|
5,04
|
6.
|
Faktor
penentu akresi atau erosi/abrasi (Go)
|
686,71
|
767,52
|
191,71
|
Sumber: damayanti, 2001
Dari data di atas
dapat dilihat bahwa Pantai krakal, Pantai Drini, dan Pantai Parangkusumo atau
di Muara Kali Opak mengalami akresi. Hal ini dapat dilihat dari nilai faktor
penentu akresi atau erosi/abrasi (Go) > 0,1111. akresi ini menunjukkan bahwa
ketiga pantai di atas mengalami penambahan daratan karena adanya sedimen yang
terangkut oleh gelombang, arus, dan pasang surut air laut. Sedangkan untuk
menentukan sumber sedimen pantai dapat dilihat dari ukuran butir sedimen
tersebut. Jika sedimen pantai berbentuk bulat dan berupa bahan andesit hal ini
menunjukkan bahwa sumber sedimen berasal dari daratan, sedangan jika butiran
sedimen tersebut berbentuk pipih dan memanjang serta adanya sisa kulit binatang
laut hal ini menunjukkan bahwa sumber sedimen tersebut berasal dari dasar laut
yang terbawa oleh arus, gelombang, pasang surut air laut.
I.
Pertanyaan/Tugas
1. jelaskan teknik pengukuran
dinamika pantai dengan menggunakan foto udara?
2. jelaskan teknik pengukuran
dinamika pantai denga pengukuran di lapangan?
3. menginterpretasikan material
penyusun pantai?
II. Sumber
Anonimus,1995.
Membuka Era Pemanfaatan Sumberdaya Laut dan Pantai Dalam 25 Tahun ke Dua
(Seminar Sehari Kelautan tanggal 22 Juni 1995. kantor Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup & environmental
management in Indonesia (EMDI), Jakarta
Dahuri, H.,
Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.j., 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta
Damayanti
Astrid, 2001. Karakteristik Beberapa
Pantai Potensial di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Geografi, No 2, pp
8-17, Universitas Indonesia, Jakarta
Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional
untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Jakarta
Pethick John,
1984. An Introduction to Coastal Geomorphology, Edward Arnold, Mariland
Sutikno, 1993. Kharakteristik Bentuk dan Geologi Pantai
di Indonesia. Diklat PU WIL. III Direktorat Jendral Pengairan Departemen
Pekerjaan Umum, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
3.1. Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan Ekosisiten laut dapat dipandang dari dimensi horizontal dan vertikal. Secara horizon...