Dalam sebulan belakangan ini pukulan
ekonomi bertubi-tubi dirasakan oleh rakyat karena kenaikan berbagai komoditi
kebutuhan hidup. BBM naik berkali- kali. Harga beras terus merangkak. Disusul
oleh teiur dan daging ayam. Bahkan harga daging sapi sudah naik jauh sebelum
puasa dan tak kunjung turun hingga hari ini. Di sisi lain nilai rupiah terus
melemah terhadap dolar. Menembus Rp 14.555,-. Akibatnya, harga sejumlah
komoditi impor ikut naik. Sejumlah sektor usaha pun terpukul.
Anehnya, Pemerintah berulang menyatakan
sikap optimis. Katanya, ekonomi Indonesia makin membaik. Pemerintah mengkiaim
angka kemiskinan justru menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka
kemiskinan per Maret 2018 sebesar 9,82% atau 25,95 juta jiwa adalah yang
terendah sepanjang sejarah. Benarkah demikian?
Makna Kesejahteraan
Asumsi
yang dibuat Pemerintah dalam menentukan garis kemiskinan adalah mereka
yang memiliki pengeluaran di bawah Rp401.220 perkapita perbulan (sekitar Rp 13
ribu perhari). Penentuan ambang batas kemiskinan tersebut dipertanyakan banyak
kalangan. pasalnya, standar Pemerintah dalam menentukan angka kemiskinan tidak
logis. Bayangkan, setiap orang dengan pengeluaran Rp 15 ribu rupiah perhari,
misalnya, dianggap telah sejahtera. Mereka dianggap bukan orang miskin. Padahal
jelas, dengan Rp 15 ribu perhari, orang hanya bisa makan sekali sehari. Itu pun
alakadarnya. Lagi pula, manusia hidup tak cuma butuh makan. Apalagi cuma sekali
sehari. Manusia hidup juga butuh pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan,
biaya transportasi, dll. Faktanya, semua itu tidak gratis.
Jelas standar kemiskinan Rp 13 ribu
perhari sangat merendahkan orang miskin. Apalagi PBB pada tahun 2015 teiah
merevisi pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1,25 dolar (AS) menjadi 1,9
dolar (AS). Berdasarkan standar ini orang dinyatakan sangat miskin jika memiliki pendapatan/pengeluaran
kurang dari 1,9 dolar perhari (sekitar Rp 27.550 perhari) Jika standar PBB ini
digunakan maka jumlah warga yang terkategori amat miskin akan melejit, bisa
mencapai 30 persen warga Indonesia atau lebih dari 75 juta orang.
Standar Islam
Dalam
Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi
dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok
itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak.
Allah SWT berfirman:
Kewajiban
para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak (TQS al-Bagarah 12:233).
Tempatkanlah
para istri di tempat mana saja kalian bertempat tinggal menurut kemampuan
kalian. Janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka
(TQS ath-Thalaq [85): 6)
Bahkan dalam Islam, orang baru dikatakan
kaya atau sejahtara jika memiliki kelebihan harta di atas 50 dirham. Dalam hal
ini Rasulullah saw. bersabda:
"Tidaklah
seseorang meminta-minta sementara ia kaya, kecuali pada Hari Kiama nanti ia
akan memiliki cacat di wajahnya. Ditanyakan kepada beliau, "Ya Rasululah,
apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?" Beliau menjawab, "Harta
sebesar o dirham... ( HR an-Nasa'l
dan Ahmad)
Mengomentari
hadis di atas. Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan "Siapa saja yang
memiliki harta sebesar 50 dirham-atau setara dengan 148,75 gram perak, atau
senilai dengan emas seharga itu-yang merupakan kelebihan (sisa) dari pemenuhan
kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal: juga pemenuhan nafkah istri d an an a
k-an aknya s erta pembantunya-maka ia dipandang orang kaya. la tidak boleh
menerima bagian dari zakat (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwál fi ad- Dawalah al-Khilâfah,
hlm. 173).
Jika satu dirham hari ini setara dengan
Rp 50 ribu saja, maka 50 dirham sama dengan Rp 2,5 juta. Kelebihan harta di
atas 2,5 juta itu tentu merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan pokoknya
(makanan, pakaian, perumahan; juga nafkah untuk anak, istri dan gaji
pembantunya).
Cara isiam Mengentaskan
Kemiskinan
Pertama:
Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk
bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya
(Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233). Rasulullah saw.juga bersabda:
Mencari
rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain
(HR ath-Thabarani).
Jika seseorang miskin, ia diperintahkan
untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah
sebagai Zat Pemberi rezeki Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat
Allah SWT. Nabi saw. Bersabda :
Janganlah kamu berdua berputus asa dari
rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia
dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah
'Azza wa Jalla memberi dia rezeki
(HR Ahmad, Ibnu Majah dan lbnu Hibban).
Kedua:
Secara jamai (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling
memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan.
Rasulullah saw.bersabda:
Tidaklah
beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara
tetangganya kelaparan, padahal ia tahu (HR
ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Rasulullah saw.juga bersabda:
Penduduk
negeri mana saja yang di tengah- tengah mereka ada seseorang yang kelaparan
(yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri
mereka (HR Ahmad dan Ibnu Abi
Syaibah).
Ketiga:
Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan
rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw.
bersabda:
Pemimpin
atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus
(HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Di
Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi
rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah.
Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka dizinkan tinggal di Masjid
Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.
Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin
Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir
demi menjaga dan melindungi anak- anak. Beliau juga membangun "rumah
tepung" (dar ad-daqgiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat
kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang
kekurangan uang.
Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun
rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat
dengan cuma-Cuma.
Hal di atas hanyalah sekelumit peran yang
dimainkan penguasa sesuai dengan tuntunan syariah Islam untuk menjamin
kesejahteraan rakyatnya.
Pentingnya Penerapan
Syariah Islam
Saat ini kemiskinan yang menimpa umat
lebih merupakan kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang
diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara/penguasa. Itulah sistem
kapitalisme-liberalisme-sekularisme Sistem inilah yang telah membuat kekayaan
milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Di negeri ini telah
lama terjadi privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan
gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk
menikmati hak mereka atas sumber- sumber kekayaan tersebut yang sejatinya
adalah milik mereka. Akibat lanjutannya, menurut laporan tahunan Global Wealth
Report 2016, Indonesia menempati negara keempat dengan kesenjangan sosial
tertinggi di dunia. Diperkirakan satu persen orang kaya di Tanah Air menguasai
49 persen total kekayaan nasional.
Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan
untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang
menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan, misalnya, rakyat
diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang
menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara. Dalam konteks global, di semua
negara yang menganut kapitalisme- liberalisme-sekularisme telah tercipta
kemiskinan dan kesenjangan sosial. Hari ini ada 61 orang terkaya telah
menguasai 82 persen kekayaan dunia. Di sisi lain sebanyak 3.5 miliar orang
miskin di dunia hanya memiliki aset kurang dari US$ 10 ribu. Karena itu
mustahil kemiskinan bisa dientaskan bila dunia, termasuk negeri ini, masih
menerapkan sistem yang rusak ini. Bahkan Oxfam International yang meriset data
ini menyebut fenomena ini sebagai "gejala sistem ekonomi yang gagal!"
(Tirto.id, 22/01/2018).
Karena itu saatnya kita mencampakkan
sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah
kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang berasal dari Allah
SWT. Hanya syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Syariah
akan menjadi rahmat bagi mereka (Lihat: QS al-Anbiya [21]: 107). Lebih dari
itu, penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah
wujud ketakwaan yang hakiki kepada Allah SWT..
HIKMAH
Allah
SWT berfirman :
Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa,
niscaya Kami membuka untuk mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi.
(TQS al-A’raf [7] :96)