Tiap-tiap hakikat sesuatu, pada akhirnya tersimpul dalam sati hakikat. Dzat Tuhan beserta sifat-sifat-Nya adalah pusat segala wujud, yang merupakan hakikat pertama. Untuk menelusurinya terlebih dahulu manusia harus sanggup menjelajahi seluruh alam raya ini, baik yang berada di bumi, maupun yang berada di langit, yang terlihat dan yang tak mungkin ditembus oleh pandangan inderawi
Matahari yang begitu kuat sinarnya, hanya mampu menerangi sebagian kecil ciptaan Allah SWT. Fitrah insani yang tidak terhalang oleh kotoran, laksana sebuah cahaya yang mampu membiaskan cahaya sehingga seseorang dapat melihat kebesaran ciptaan Allah SWT, siang dan malam, mampuu menembus ke dalam lautan yang terdalam sekalipun. Ia mampu pula melihat ciptaan-Nya, yang diluar dan di dalam dirinya sendiri. Dengan bashirah (mata hatinya), ia sanggup melihat ada-Nya, wujud yang tiada terbatas oleh ruang dan waktu, tiada terikat oleh siapa dan apapun bagi-Nya, tiada memerlukan bantuan dari luar diri-Nya, tetap berdiri sendiri, dengan kekuatan diri-Nya dan tiada serikat bagi diri-Nya.
Rasio bagi manusia, seumpama sinar matahari yang hanya mampu memantulkan cahanya dalam waktu dan ruang yang terbatas. Ia tidak mampu menerangi seluruh bumi ini dalam waktu yang sama, atau ke dalam lautan yang gelap karena tidak dapat dijangkau olehnya. Fitrah insani yang dilengkapi dengan akal, bashirah, sanggup membiaskan cahanya ke segala penjuru alam, ke dalam alam yang terlihat dan tidak terlihat, material dan immaterial,
Dari sekian juta milyar macam ciptaan-Nya, di dalamnya mengandung pula bermilyar-milyar misteri, ada yang sudah dimengerti dan ada yang masih dirahasian oleh Allah SWT. Ada yang ditampakkan melalui kekuatan inderawi dan ada yang ditampakkan melalui bashirah atau mata rohaninya. Kedua mata ini sama-sama berguna untuk dijadikan alat melihat ada nya Allah SWT.
Manusia, apabila mau mempergunakan kedua mata ini, sekaligus akan melahirkan rasa kesadaran, bahwa semua yang ada dan terjadi, hukum dan energi, yang menyangkut alam raya serta kehidupan makhluk-Nya, semua bertumpu pada kehendak Allah SWT sebagai penciptanya.
Manusia sesuai denga fitrahnya selalu bersifat Tauhid, dalam pertumbuhan kempribadiannya terdapat karakter Hewaniah, apabila sifat-sifat ini menonjol bagi diri manusia, akan tercermin sifat-sifat kebinatangan manusia, sehingga menimbulkan rasa ketidakseimbangan jiwa manusiawinya, dimana fitrah insani menghendaki kesucian dan keluhuran jiwa. Tauhid yang tertanam dalam hatinya bisa layu yang lambat laut menjadi mati. Di samping karakter Hewaniah, manusia juga diberi karakter Malaikah, yang lebih mengutamakan nilai-nilai luhur dan suci. Manusia yang penuh dengan karakter Malaikah ini akan memiliki kepribadian luhur, berkerohanian tinggi, berjiwa mulia. Karakter Malaikah ini bisa terbenam, apabila karakter Hewaniyahnya lebih banyak mempengaruhi hidup dan kehidupannya, individunya menonjol berlebihan, lebih banyak terkurung dalam pagar materi dan indera. Penyakit sosial yang diderita masyarakat abad terknologi dewasa ini adalah penyakit ketidakmampuan manusia menguasai dirinya dalam mengekang hawa nafsu Hewaniyah, sehingga dimana-mana selalu timbul ketegangan, pertikaian, keresahan yang kadang-kadang berakhir dengan bermacam bentuk pertumpahan darah.
Ilmu pengetahuan yang telah dicapai manusia, justru tidak membawa harkat manusia semakin meningkat. Kemajuan demi kemajuan semakin mengantar manusia kepada kemerosotan kemanusiaan, jauh dari kemuliaan dan keluhuran insani, manusia semakin jauh dari Penciptanya. Manusia hanya menjadi sekrup mesin-mesin, atau budak-budak penyembah teori-teori ilmu pengetahuan, telah mampu menyingkirkan fitrah Tauhid berada dalam dirinya.
Kita oleh Allah SWT diberi kebebasan untuk berenang dalam lautan ilmu, bahkan setengah menjadi kewajiban umat Islam untuk mencari dan meneranginya. Tetapi kita harus tahu memahami atau mengarahkan. Ilmu itu sendiri adalah suatu tenaga yang netral, yang tidak buruk dan tidak baik. Tetapi cara pendayagunaanya dan pengarahannyalah yang dapat menimbulkan kebaikan atau keburukan. Kebenaran atau kesesatan. Berkata John H. Woodburs dan Ellsworth S. Obourn, "Mengejar ilmu tak hanya menunjuk kepada data yang diperoleh kaum sarjana saja, melainkan juga kepada alat untuk mencapainya / (The Pursuit of science refers not merely to the data acquired by the scientist but also to the means of it acquisitio)", ( Teaching the pursuit of Science, The Macmillan Coy, M. Y. 1965, p. 12 ) dinukil dari tulisan S.I. Puradisastra.
Dalam surat Al-Isra' Bani Israil ayat 36, Allah SWT berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
yang artinya : " Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. "
Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio dalam mengikuti perkembangan dan peradaban manusia, kadangkala tidak mampu mengantar manusia kepada kehidupan kemanusiaan yang luhur, malah sebaliknya, sebagai bukti Eropa abad ke-20 ini telah mencapai puncak pengetahuan, disamping kekuatan meterial dan hasil produksinya yang melimpah ruah, yang tak pernah ada tandingannya sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini.
Tetapi Eropa abad ke 20 di balik kejayaan ilmu dan materinya, sebenarnya telah mencapai tingkatan kemerosotan moral dan jiwa yang tidak pernah dialami oleh umat manusia baik pada zaman jahiliah kuno, maupun jahiliah modern. Jiwanya kosong, kerohaniannya timpang, sunyi dari akidah, kehilangan Moralitas dalam arti manusiawi yang lebih luas, bukan dalam pengertian moral interest yang sempit sebagaimana berlaku di dunia Barat dewasa ini.
Andaikata kemajuan ilmiah, produksi benda dan lain-lainnya yang terdapat di luar kejiwaaan mempunyai pengaruh terbesar dalam membentuk aspek kejiwaan insan, maka sepatutnyalah dunia Barat dewasa ini menempati puncak tertinggi kemanusiaaan di segala bidang kelakuan manusia. Andaikata begitu dunia Bara tidak akan berwajah suram seperti yang tempak pada dewasa ini, diskriminasi rasial, kolonialisme, dekadensi moral, kerendahan jiwa, pergumulan sengit untuk memperluas ekspani dan penguasaan, ketakutan terhadap bahaya perang, dan kehancuran total menghantui ketentraman hidup. (Islam di tenga Pertarungan Tradisi, Muhammad Quthub).
Bersambung, ,
Sabar dulu yak, , masih cari bahan referensi yang lain 😀😀
No comments:
Post a Comment