Ruang Lingkup Wilayah Pantai dan Pesisir
3.2.
Batasan Wilayah Pesisir
Pertanyaan pertama yang sering muncul dalam
pengelolaan kawasan pesisir adalah bagaiman menentukan batas-batas dari suatu
wilayah pesisir (coastal zone).
Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian,
terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir
memiliki dua macam batas (boundaries)
yaitu; batas yang sejajar garis pantai (longshore)
dan batas yang tegak lurus tehadap garis pantai (cross-shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas
wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah, misalnya batas
wilayah pesisir antara Sungai Brantas dan Bengawan Solo, atau batas wilayah
pesisir Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung Nasikonis dan Pulau Sabu, dan
batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah antara Sungai Dadap di sebelah barat
dan Tanjung Karawang di sebelah timur.
Penetapan batas-batas wilayah pesisir yang tegak lurus
terhadap garis pantai sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan kata lain batas
wilayah pesisir berbeda dari satu negara dengan negara yang lain. Hal ini dapat
dimengerti karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya
dan sistem pemerintahan tersendiri (khas). Dalam menentukan batas ke arah darat
dan ke arah laut dari suatu wilayah pesisir. Pada suatu ektrim, suatu wilayah
pesisir dapat meliputi suatu kawasan yang sangat luas mulai dari batas lautan
(terluar) ZEE sampai daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut. Pada
ektrim lainya, suatu wilayah pesisir hanya meliputi kawasan peralihan antara
ekosistem laut dan daratan yang sangat sempit, yaitu dari garis rata-rata
pasang tertinggi sampai 200 m ke arah darat dan ke arah laut meliputi garis
pantai pada saat rata-rata pasang terendah. Batasan wilayah pesisir yang sangat
sempit ini dianut oleh Costa Rica. Sementara itu, negara-negara lain mengambil
batasan wilayah pesisir di antara kedua ektrim tersebut.
Batas wilayah pesisir ke arah
daratan pada umumnya adalah jarak arbitler
dari rata-rata pasut tinggi ( mean high
tide) dan batas ke arah laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurisdiksi
propinsi. Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah daratan dari suatu
wilayah pesisir dapat ditetapkan
sebanyak dua macam., yaitu batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah
pengaturan (regulation zone) atau
pengelolaan keseharian (day-to-day management).
Wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah dataran (hulu) apabila
terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara
nyata (significant) terhadap
lingkungan dan sumberdaya yang ada di pesisir. Oleh karena itu batas wilayah
pesisir ke arah darat untuk kepentingan perencanaan (planning zone) dapat sangat jauh ke arah hulu, misalnya Kota
Bandung untuk kawasan pesisir dan DAS Citarum. Jika suatu program pengelolaan
wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah pengelolaannya (wilayah
perencanaan dan wilayah pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas
daripada wilayah pengaturan.
Pengertian wilayah
pesisir yang disepakati dalamrapat koordinasi BAKOSURTANAL , 1990 adalah suatu
jalus saling pengaruh anatara darat dan lautan, yang memiliki ciri geosfer yang
khusus, ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik laut dan sosial
ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses alami serta akibat
kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat. Batas wilayah pesisir ke arah
daratan tersebut ditentukan oleh; (a) pengaruh sifat fisik air laut, yang
ditentukan berdasarkan seberapa jauh pengaruh air laut, seberapa jauh flora
yang suka akan air akibat pasang tumbuh (water
loving vegetation) dan seberapa jauh pengaruh air laut ke dalam air tanah
tawar, (b) pengaruh kegiatan bahari (sosial), seberapa jauh konsentrasi ekonomi
bahari (desa nelayan) sampai ke arah daratan (Sutikno, 1993).
Istilah pesisir
dalam bahasa jawa berasal dari kata pacigcig (bahasa astronesia kuno) yang
berarti tempat berpasir atau tepi pantai yang berpasir (MohamadNgafenan, 1987,
dalam Sunarto, 1989). Menurut Aprilani Sugiarto (1986) yang dimaksud dengan
wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan laut (dalam John
Pieries, 1988). Bird (1969) berpendapat bahwa wilayah pesisir mintakat yang
lebarnya bervariasi, yang mencakup tepi laut (shore) yang meluas ke arah daratan hingga batas pengaruh marin
masih dirasakan.
Menurut Sugiarto (1976)
mendefinisikan wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut, kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian
daratan, baik yang kering maupun yang terendam air, yang masih dipengaruhi oleh
sifat-sifat laut seperti pasang-surut, angin laut, dan perembesan air asin,
sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi
dan aliran air tawar, maupun disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi wilayah pesisir di atas memberikan
suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan
mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling
berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar,
wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan
manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung
berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir.
Menurut kesepakatan internasional
terakhir, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara daratan
dan laut, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan
air laut atau pasang-surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al.,
1994, dalam Dahuri, 2001). Dalam Rapat Kerja Nasional Proyek MREP (marine resource evaluation and planning
atau perencanaan dan evaluasi sumberdaya kelautan) di Manado,1-3 Agustus 1994,
telah ditetapkan bahwa batas ke arah laut suatu wilayah pesisir adalah sesuai
dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia (PLPI)
dengan skala 1: 50.000 yang telah diterbitkan oleh Bnadan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Sedangkan batas ke arah darat adalah mencakup
batas administratif seluruh desa pantai (sesuai dengan ketentuan Direktorat
Jenderal Pekerjaan Umum dan otonomi daerah, Departemen Dalam Negeri) yang
termasuk ke dalam wilayah pesisir MREP. Adapun beberapa alternatif penentuan
batas ke arah laut dan darat suatu wilayah pesisir dapat dilihat pada Tabel
1.1., dan Tabel 1.2.
Tabel
1.1. Beberapa Alternatif Penentuan Batas Ke Arah Laut Dan Darat Suatu Wilayah
Pesisir
Batas ke arah laut
Batas ke arah darat
|
Rata-rata
pasang terendah (MTL) atau rata-rata pasang tertinggi (MHT)
|
Jarak
secara atbitrer ke arah laut dari garis batas pasang surut
|
Batas
antara jurisdiksi propinsi dengan nasional1)
|
Sama
dengan batas laut teritorial2)
|
Tepi
lautan dari paparan benua3)
|
Batas
lautan dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)4)
|
Jarak
secara arbitrer ke arah darat dari garis pasang-surut
|
Costa
Rica (MLT)
|
Srilangka,
Brazil dan Israel
|
California
(1972-1976)
|
Spanyol
|
Greet
barrier marine Park Authority
|
Program
pengelolan laut Srilangka, Belanda, dan Swedia
|
Batas
daratan menurut ketepatan pemerintah tingkat propinsi
|
Australia
Barat (MLT)
|
|
Negara
Bagian Washington (untuk perencanaan)
|
|
|
|
Suatu
lokasi dimana dampak negatif penting disini, masih mempengaruhi wilayah
pesisir
|
|
|
US
Coastal Zone Act
California
(sejak 1976)
|
|
|
|
Batas
daratan yang dipengaruhi oleh iklim laut
|
|
|
|
|
|
|
Sumber:Dimodifikasi dari Sorensen dan Mc.
Creary (1990), dalam Dahuri dkk (2001)
Keterangan:
- dalam banyak hal batas jurisdiksi antara
pemerintah propinsi dan nasional (pusat) sama dengan garis batas laut
teritorial
- biasanya antara 3-12 mil laut dari garis
dasar (coastal base line) garis
dasar adalah suatu rangkaian garis lurus yang menghubungkan titik-titik
terluar pulau, semenanjung, dan tanjung yang dimiliki oleh suatu negara
- di beberapa lokasi, tepi lautan dari paparan
benua dapat melebihi 200 mil laut dari garis pantai
- ZEE meliputi daerah lautan 200 mil laut dari
garis dasar, atau tepi lautan dari paparan benua, tergantung mana yang
lebih jauh
- batas ke arah darat dari wilayah pesisir
suatu propinsi (pemerintah lokal) seringkali lebih jauh ke arah darat daripada suatu
lokasi dimana dampak negatif penting dapat ditimbulkan terhadap wilayah
pesisir.
MLT: mean low tide
MHT: mean high tide
Tabel 1.2. Batas ke
Arah Darat dan ke Arah Laut Wilayah Pesisir yang Telah Dipraktekan di Beberapa
Negara atau Negara Bagian
No
|
Negara/Negara
Bagian
|
Batas
ke Arah Darat
|
Batas
ke Arah Laut
|
1
|
Brazilia
|
2
km dari garis garis PTR
|
2
km dari garis garis PTR
|
2
|
California
·
1972-1976
·
1977-sekarang
|
·
1.000 m dari garis PTR
·
Batas abitrer tergantung isu
pengelolaan
|
3
mil laut dari garis GD
3
mil laut dari garis GD
|
3
|
Costa
Rica
|
200
m dari garis PTR
|
Garis
pantai saat PRR
|
4
|
Cina
|
10km
dari PTR
|
Sampai
kedalaman laut/isobath 15m
|
5
|
Ekuador
|
Batas
arbitrer tergantung isu pengelolaan
|
BL
|
6
|
Israel
|
1-2
km tergantung sumberdaya dan jenis lingkungan
|
500
m dari garis pantai saat PRR
|
7
|
Afrika
Selatan
|
1km
dari garis PTR
|
BL
|
8
|
Australia
Selatan
|
100 km dari garis PTR
|
3
mil laut dari garis GD
|
9
|
Queenland
|
400 m dari garis PTR
|
3
mil laut dari garis GD
|
10
|
Spanyol
|
500 m dari garis PTR
|
12
mil laut /batas perairan teritorial
|
11
|
Washington
·
batas perencanaan
·
batas pengeturan
|
· batas
darat dari negara pantai
61
m dari garis PTR
|
3
mil laut dari garis GD
3
mil laut dari garis GD
|
Sumber: Sorensen dan Mc. Creary
(1990), dalam Dahuri dkk (2001)
Keteranagan:
PTR:
pasut tinggi rata-rata (mean high tide
PRR:
pasut rendah rata-rata (mean low tide)
GD
: garis dasar ( coastal baseline)
BL
: belum ditetapkan
Jika tujuan pengelolaan
adalah untuk mengendalikan atau menurunkan tingkat pencemaran perairan pesisir
yang dipengaruhi oleh aliran sungai, maka batas wilayah pesisir ke arah darat
hendaknya mencakup suatu daratan DAS (daerah aliran sungai), dimana buangan
limbah disini akan mempengaruhi kualitas perairan pesisir. Sedangkan batas ke
arah laut hendaknya meliputi daerah laut yang masih dipengaruhi oleh pencemaran
yang berasal dari darat tersebut, atau suatu daerah laut dimana kalau terjadi
pencemaran (misalnya tumpahan minyak), minyaknya akan mengenai peairan pesisir.
Batasan wilayah pesisir yang sama berlaku, jika tujuan pengelolaannya adalah
untuk mengendalikan laju sedimentasi di wilayah pesisir akibat pengelolaan
lahan atas yang kurang bijaksana seperti penebangan hutan secara semena-mena
dan bertani pada lahan kemiringan lebih dari 40%. Jika tujuan pengelolaan
wilayah pesisir untuk mengendalikan erosi (abrasi) pantai, maka batas ke arah
darat cukup hanya sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,
dan batas ke arah laut adalah daerah yang terkena pengaruh distribusi sedimen
akibat proses abrasi, yang biasanya terdapat pada daerah pemecah gelombang (breakwater zone) yang paling dekat
dengan garis pantai. Dengan demikian, meskipun untuk kepentingan pengelolaan
sehari-hari (day-to-day management)
kegiatan pembangunan di lahan atas atau di laut lepas biasanya ditanani oleh
instansi tersendiri, namun untuk kepentingan perencanaan pembangunan wilayah
pesisir segenap pengaruh-pengaruh atau keterkaitan tersebut harus dimasukan
pada saat menyusun perencanaan pembangunan wilayah pesisir. Adapun gambaran
tentang batasan wilayah pesisir dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1.
Batas Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Program Pengelolaan Lautan yang
berlaku Sekarang dan Untuk Masa mendatang (Sorensen dan Mc. Creary (1990), dalam
Dahuri dkk (2001)
I.
Pertanyaan/Tugas
1. jelaskan definisi wilayah
pesisir dan lautan berdasarkan tujuan pengelolaan dan pengaturan?
2. jelaskan batasan wilayah
pesisir jika tujuan pengelolaan wilayah pesisir untuk penanggulan bencana
sedimentasi di wilayah pesisir dan pantai?
3. jelaskan maksud dari
pengelolaan wilayah laut dan pesisir secara berkelanjutan?
4. jelaskan dengan gambar wilayah
pesisir berdasarkan batasan secara vertikal dan horizontal?
5. jelaskan batasan wilayah pantai
berserta gambaran tentang wilayah yang termasuk bagian dari pantai?
II. Sumber
Dahuri, H.,
Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.j., 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta
Sorensen ,J.C.
and Mc. Creary, 1990. Coast:
Institutional Arrangements for Managing Coastal Resources. University of
California of Barkeley
Sutikno, 1993. Kharakteristik Bentuk dan Geologi Pantai
di Indonesia. Diklat PU WIL. III Direktorat Jendral Pengairan Departemen
Pekerjaan Umum, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta
Sugiarto,A.1976.
Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta
Sunarto, 1989.
Abrasi dan Akresi Pantai Jepara Ditinjau Secara Morfogenetik. Fakultas
Geografi, UGM. Yogyakarta
Prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu
3.1.
Urgensi dan Manfaat Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu
Berdasarkan karakteristik dan
dinamika (the nature) dari kawasan
pesisir dan lautan , potensi dan permasalahan pembangunan, dan kebijakan
pemerintah untuk sektor kelautan maka pencapaian pembangunan kawasan pesisir
dan lautan secara optimal dan berkelanjutan tampaknya hanya dapat dilakukan
melalui pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT). Hal ini
paling tidak berdasarkan pada empat alasan pokok;
- secara empiris, terdapat
keterkaitan ekologis (hubungan fungsional), baik antar ekosistem di dalam
kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut
lepas.
- dalam suatu kawasan
pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan,
- dalam suatu kawasan
pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang
memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda sebagai, petani, nelayan,
petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri,
kerajinan rumah tangga, dan sebagainnya,
- baik secara ekologis dan
ekonomis, pemanfaatans suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentah
terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan
usaha.
PWPLT
memiliki beberapa keunggulan atau kelebihan jika dibandingkan dengan pendekatan
secara sektoral (IPPC, 1994), yaitu:
- PWPLT memberi kesempatan (oppurtunity) kepada masyarakat
pesisir (para pengguna sumberdaya pesisir dan lautan, atau stakeholder) untuk membangun
sumberdaya pesisir dan lautan secara berkesinambungan,
- PWPLT memungkinkan untuk
memasukan pertimbangan tentang kebutuhan secara aspirasi masyarakat
terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan
lautan baik sekarang maupun yang akan datang ke dalam perencanaan
pembangunannya,
- PWPLT menyediakan kerangka
(framework) yang dapat merespon
segenap fluktuasi maupun ketidak-menentuan (uncertainties) yang merupakan ciri khas dari ekosistem pesisir
dan lautan,
- PWPLT membantu pemerinyah
daerah maupun pusat dengan suatu proses yang dapat menumbuhkembangkan
pembangunan ekonomi serta meningktkan kualitas kehidupan masyarakat,
- meskipun PWPLT memerlukan
pengumpulan dan analisis data serta proses perencanaan yang lebih panjang
daripada pendekatan sektoral, tetapi secara keseluruhan akhirnya PWPLT
lebih murah ketimbang pendekatan sektoral.
3.2. Penerapan Konsep
Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu
Pembangunan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang
memberikan semacam ambang batas (limit)
pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya yang ada di dalamnya.
Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute),
melainkan merupakan batas yang luwes (flesible)
yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan
sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan
manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi
pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya
untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Secara garis
besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi: (1) ekologis,
(2) sosial ekonomi budaya, (3) sosial politik, (4) hukum dan kelembagaan.
Dimensi
Ekologis
Setiap ekosistem alamiah,
termasuk wilayah pesisir, memiliki empat (4) fungsi pokokbagikehidupan manusia:
(1) jasa-jasa pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyediaan
sumberdaya alam, (4) penerima limbah (Ortolano, 1984). Jasa-jasa pendukung
kehiduapan (life support services)
mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi ekosistem kehidupan manusia, seperti
udara dan air bersih serta ruang bagi
berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa-jasa kenyamanan (amenity sercices) yang disediakan oleh
ekosistem alamiah adalah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan
menyejukan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan kedamaian
jiwa. Ekosistem almiah juga menyediakan sumberdaya alam yang dapat dikonsumsi
langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi. Sedangkan fungsi penerima
limbah dari suatu ekosistem adalah kemampuannya dalam menyerap limbah dari
kegiatan manusia, sehingga menjadi suatu kondisi yang aman. Bedasarkan keempat
fungsi ekosistem di atas, secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat
menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu;(1) keharmonisan spasial,
(2) kapasitas asimilasi, (3) pemanfaatan berkelanjutan. Hendaknya tidak
seluruhnya dimanfaatkan untuk zona pemanfaatan, tetapi harus pula dialokasikan
untu zone preservasi dan konservasi yang luas minalnya adalah 30%-50% dari luas
keseluruhannya. Contoh zone preservasi adalah daerah peminjahan (spawning ground) dan jalur hijau pantai.
Dimensi
Sosial-Ekonomi
Secara sosial ekonomi dan budaya konsep
pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa pemanfaatan (keuntungan) yang
diperoleh dari kegiatan pembangunan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya
alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkankesejahteraan penduduk sekitar
kegiatan (proyek) tertebut, terutama mereka yang memiliki perekonomian yang
lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.
Untuk negara berkembang prinsip ini sangat mendasar kerena banyak kerusakan
lingkungan pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan
pasir pantai, dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar
pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya.
Dimensi
Sosial Politik
Ciri lhas kerusakan lingkungan adalah bahwa akibat
dari kerusakan ini biasanya muncul setelah beberapa waktu. Mengingat
karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka pembangunan berkelanjutan
hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan
transparan. Tanpa kondisisemacam ini , niscaya laju kerusakan lingkungan akan
melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.
Dimensi
Hukum dan Kelembagaan
Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk
tidak merusak lingkungan dan bagi kelompok the haves dapat berbagi kemampuan
dan rasa dengan saudara-saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya. Pesyaratan yang bersifat personal ini dapat berwibawa konsisten.
Serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap
warga dunia. Di sinilah peran serta sentuhan keagamaan akan sangat berperan.
3.3. Prinsip-Prinsip Dasar
dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu
sehubungan dengan karakteristik dan
dinamika ekosistem pesisir dan lautan, ada lima belas (15) prinsip dasar
(kaidah) yang patut diperhatikan dalam PWPLT. Kelima belas (15) prinsip dasar
ini sebagaianbesar mengacu pada Clark (1992) yaitu;
- wilayah pesisir adalah
suatu sumberdaya (resources sytem)
yang unik, yang memerlukan pendekatan khusus dalam merencanakan dan
mengelola pembangunannya,
- air merupakan faktor
kekuatan penyatu utama (the mayor
integrating force) dalam ekosistem wilayah pesisir,
- tata ruang darat dan
lautan harus direncanakan serta dikelola secara terpadu,
- daerah perbatasan antara
laut dan daratanhendaknya dijajadikan fokus utama (focal point) dalam setiap program pengelolaan wilayah pesisir,
- batas suatu wilayah
pesisir ditetapkan berdasarkan pada isu permasalahan yang hendak dikelola
serta bersifat adaptif,
- fokus utama dari
pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk mengkonservasi sumberdaya milik
bersama (common property resources),
- pencegahan kerusakan
akibat bencana alam dan konservasi sumberdaya alam harus dikombinasikan
dalam suatu program PWPLT,
- semua tingkat pemerintahan
dalam suatu negara harus diikutsertakan dalam perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir,
- pendekatan pengelolaan
yang disesuaikan dengan sifat dan dinamika alam adalah tepat dalam
pembangunan wilayah pesisir,
- evaluasi manfaat
ekonomi dan sosial dari ekosistem
pesisir serta partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan wilayah
pesisir,
- konservasi untuk
pemanfaatan yang berkelanjutan adalah tujuanutama dari pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir,
- pengelolaan multiguna (multiple uses) sangat tepat
digunakan untuk semua sistem sumberdaya
wilayah pesisir,
- pemanfaatan multiguna (multiple uses) merupakan kunci
kunci keberhasilan dalam pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan,
- pengelolaan sumberdaya
pesisir secara tradisional harus dihargai,
- analisis dampak lingkungan
sangat penting bagi pengelolaan wilayah pesisir secara efektif.
I.
Pertanyaan/Tugas
1. mendeskripsikan Proses
perencanaan dan pengelolaan
2. mendeskripsikan prinsip dasar
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu
II.
Sumber
Brodie,
J. 1995. Wate Quality and Polution Control.in Kenji Hotta and Aan Dutton (ED).
Coastal Management in the Asia Pasific: issues and approaches. Japan
International marine Science and Techology federation, Tokyo
Dahuri,
H., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.j., 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
Sloan,N.A.1993.
Effect of Oil on Marine Resources: A World Wide Literature Review Relation ti
Indonesia> Environment Management Development in Indonesia (EMDI) project
Jakarta.
Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi
Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup, Jakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
3.1. Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan Ekosisiten laut dapat dipandang dari dimensi horizontal dan vertikal. Secara horizon...