Labels

Geografi (10) Islam (53) Kuliah (5) Peta (6) Power Point (4) Skripsi (1) Tokoh (1) Video (1)

Permasalahan wilayah pesisir dan lautan


3.1. Permasalahan Pembangunan di Wilayah Pesisir dan Lautan
Dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia dihadapkan pada kondisi yang mendua atau berada di persimpangan jalan. Di satu pihak, ada beberapa kawasan pesisir yang telah dikembangkan dengan intensif, sehingga indikasi telah terlampauinya dayadukung atau kapasitas keberlanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing), degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai. Dari segi kejadian, jenis-jenis kerusakan lingkungan tersebut ada yang berasal dari luar sistem wilayah pesisir dan ada yang berlangsung di dalam wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran dapat berasal dari limbah yang dibuang oleh berbagai kegiatan pembangunan (seperti tambak, perhotelan, permukiman, dan industri) yang terdapat di dalam wilayah pesisir, dan juga berupa kiriman dari berbagai kegiatan pembangunan di daerah lahan atas (upper land). Sedimentasi atau pelumpuran yang terjadi di perairan pesisir sebagian besar berasal dari bahan sedimen di lahan atas (akibat penebangan hutan dan praktek pertanian yang tidak mengindahkan asas konservasi lahan dan lingkungan), yang terangkut aliran air sungai atau air limpasan dan diendapkan di perairan pesisir. Sementara itu, kerusakan lingkungan berupa degradasi fisik habitat pesisir (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun), eksploitasi yang berlebihan (over exploitation) sumberdaya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung, dan bencana alam, hampir semua terjadi di wilayah pesisir.
Menurut Dahuri dkk, 1996 secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia meliputi (1) pencemaran, (2) degradasi lingkungan, (3)  over eksploitasi sumberdaya alam, (4) abrasi pantai, (5) konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainya, dan (6) bencana alam.
3.1.1. Pencemaran
a. Status dan Sumber Pencemaran
Mungkin karena relatif mudah dan murah (praktis), perairan pesisir selama ini menjadi tempat pembuangan limbah (keranjang sampah) dari berbagai macam kegiatan manusia baik yang berasal dari dalam wilayah pesisir maupun di luarnya (lahan atas/upper land dan laut lepas/off shore). Pencemran laut (perairan pesisir) didefinisikan sebagai “dampak negatif” (pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota laut, sumberdaya, dan kenyamanan (amenities) ekosistem laut serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah (termasuk energi) ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia (GESAMP, 1986, dalam Dahuri dkk, 1986).
Sumber pencemaran perairan pesisir dan lautan dapat dikelompokan menjadi 7 kelas : industri, limbah cair permukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stromwater), pertambangan, pelayaran (shipping), pertanian, dan perikanan budidaya. Bahan pencemar utama yang terkandungan dalam buangan limbah dari ketujuh sumber tersebut berupa; sedimen, unsur hara (nutrients) logam beracun (toxic metals), pestisida, organisme eksotik, organisme patogen, sampah (litter), dan bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut dalam air berkurang (oxygen depleting substances). Tabel 2.3 menyajikan urutan kepentingan sumbangan setiap sumber pencemar di kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.
Tabel 2.3. Sumber Pencemar (Poluttan) di Wilayah Pesisr dan Lautan
Pencemar
(pollutants)
sumber
Pertanian
Limbah Cair
Limbah Cair Perkotaan
Pertambangan
Budidaya Perikanan
Industri
Pelayaran
Sedimen
···
··
···
···
·

·
Nutrien
···
···
··
···
··
·
·
Logam beracun
···
·
···


···
·
Zat kimia beracun
·
··
·
·
·
··
·
Pestisida
·
·
·

·


Organisme oxotic
···



·

··
Organisme patogen

···
·



·
Sampah
·
·
···


·
·

·
···
··

··
·

Sumber: Brodie (1995), dalam Dahuri dkk, 1996
            Bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri, pertanian, rumah tangga di daratan akhirnya menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan sungai, tetapi juga perairan pesisir dan lautan. Masukan kuantitas limbah ke dalam ekosistem pesisir dan lautan di Indonesia terus meningkat secara tajam, terutama dalam dua dasawarsa terakhir. Misalnya, jika pada tahun 1972 penggunaan pupuk nitrogen untuk seluruh kegiatan pertanian di tanah air  tercatat sekitar 350.000 ton, maka pada tahun 1990 jumlah tersebut meningkat menjadi 1.500.000 ton. Total penggunaan insektisida pada tahun 1975 sebesar 2.000 ton, kemudian pada tahun 1984 menjapai 16.000 ton (ESCAP, 1990, dalam Dahuri dkk, 1996). Beban pencemaran yang berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian terhadap perairan pesisir di setiap propinsi dapat dilihat pada Tabel 2.4. 




Tabel 2.4. Prakiraan Beban Pencemaran yang Berasal dari Kegiatan Industri, Rumah Tangga, dan Pertanian Terhadap Perairan Pesisir
Kegiatan Industri
Kegiatan Rumah Tangga
Kegiatan Pertanian
Propinsi
Jumlah Relatif Pencemaran Industri
Propinsi
Prakiraan Kandungan Nitrogen2
Propinsi
Prakiraan Kandungan Nitrogen2

RIPF

Ribuan ton

Ribuan ton
Beban Pencemaran Tinggi
Beban Pencemaran Tinggi
Beban Pencemaran Tinggi
Jawa Barat
Jawa Timur
Jakarta
Jawa Tengah
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Kalimantan Timur
Riau
Lampung
1.781.456
1.169.864
821.864
674.710
433.512
166.469
157.529
156.723
131.497
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sumatera Utara
Jakarta
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
Lampung
Sumatera Barat

70.763
64.975
57.031
20.505
16.455
13.961
12.624
12.032
8.000
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sulawesi Selatan
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Lampung
Nusa Tenggara Barat
373,4
278,2
271,3
62,2
60,6
40,3
32,2
32,2
30,1
Beban Pencemaran Sedang
Beban Pencemaran Sedang
Beban Pencemaran Sedang
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Aceh
Sumatera Barat
Sulawesi Selatan
Jambi
Yogyakarta
Maluku
Sulawesi Utara
77.660
75.759
73.926
48.662
48.727
43.999
37.508
37.433
25.625
Aceh
N.T.B
Riau
N.T.T
Kalimantan Barat
Yogyakarta
Bali
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
6.831
6.737
6.558
6.536
6.456
5.825
5.555
5.193
4.954
Aceh
Yogyakarta
Bali
Jambi
N.T.T
Kalimantan Selatan
Riau
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
26,6
24,2
19,0
16,3
15,0
14,8
13,1
12,0
11,2
Beban Pencemaran Rendah
Beban Pencemaran Rendah
Beban Pencemaran Rendah
Kalimantan Tengah
Bali
Irian Jaya
Sulawesi Tengah
N.T.B
Sulawesi Tenggara
Bengkulu
N.T.T
Timor Timur
23.388
18.814
13.618
6.436
3.018
2.506
2.468
1.375
717
Jambi
Kalimantan Timur
Maluku
Sulawesi Tengah
Irian Jaya
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tenggara
Bengkulu
Timor Timur
4.037
3.370
3.705
3.407
3.260
2.792

2.699
2.358
1.495
Bengkulu
Sulawesi Utara
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sulawesi Tenggara
Timor Timur
Jakarta
Maluku
Irian Jaya
7,6
7,4
6,2
4,5
4,4
2,0
1,4
0,7
0,6
Sumber: World Bank (1994) dan BPS (1994), dalam Dahuri dkk, 1996       
Keterangan:
  1. Proyeksi basis data pencemaran industri. Faktor relatif pencemaran industri (RIPF)
  2. Prakiraan Team Proyek CEMP. Jumlah Pemakaian Total oleh Penduduk 2 kg/tahun
  3. Prakiraan Team proyek CEMP. Asumsi kandungan Nitrogen dalam Pupuk 43,3% Nitrogen

Status pencemaran di laut Indonesia terutama di daerah padat penduduk, kegiatan industri, pertanian intensif, dan lalu lintas pelayaran seperti Teluk Jakarta, Selat Malaka, Semarang, Surabaya, Lhoksemawe, dan Balikpapan sudah memprihatinkan. Konsentrasi logam berat Hg di perairan Teluk Jakarta pada tahun 1977-1978 berkisar antara 0,002-,35 ppm (BATAN, 1979), kemudian pada tahun 1982 tercatat antara 0,005-0,29 ppm (LON-LIPI, 1983). Sementara itu baku mutu lingkungan dalam KEPMEN KLH No 2/1988 adalah sebesar 0,003 ppm. Dengan demikian kondisi perairan Teluk Jakarta telah tercemar logam berat. Hal ini juga terjadi untuk parameter BOD, COD dan kandungan minyak di tiga stasiun pengamatan sekitar perairan Pelabuhan Tanjung Priok, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 1992, juga menunjukkan status tercemar (PPLH-IPB, 1992). Nilai BOD berkisar antara 39-312 ppm dengan baku mutu lebih kecil daripada 80 ppm. Sedangkan kandungan minyak di permukaan perairan berkisar antara 41,5-87,5 ppm, dengan baku mutu lebih kecil dari 5 ppm.
Data tentang status pencemaran belum tersedia untuk setiap wilayah perairan Indonesia. Akan tetapi dapat diperkirakan bahwa pencemaran sudah terjadi di perairan pesisir yang padat penduduk, kegiatan industri, atau pertanian intensif. Sampai saat ini, hanya dampak berupa pencemaran minyak yang sudah dibuatkan implikasinya terhadap tingkat kerawanan ekosistem pesisir. Sloan (1930, dalam Dahuri dkk (1996), dengan mengacu dari berbagai literatur berhasil menyusun tingkat kerawanan berbagai ekosistem pesisir terhadap tumpahan minyak. Indeks kerawanan jenis-jenis ekosistem pesisir terhadap kerusakan oleh minyak dan cara pembersihan yang disarankan disajikan dalam Tabel 2.5.


Tabel 2.5. Indeks kerawanan jenis-Jenis Ekosistem Pesisir Terhadap Kerusakan Oleh Minyak dan Cara Pembersihan yang Disarankan     
Indeks Kerawanan
Jenis garis pantai
Keterangan
10
Lahan Basah Pesisir
Rawa payau
Hutan Bakau
Lingkungan perairan yang sangat produktif, minyak dapat bertahan selama bertahun-tahun, pembersihan dengan cara dibakar atau dibabat hanya bila tumpahan minyak sangat berat
9
Pantai Landai
Pasang Surut yang Terhalang Terumbu Karang
Daerah yang berenergi gelombang rendah dan mempunyai produktifitas biologis yang tinggi, minyak dapat bertahan selama bertahun-tahun, pembersihan tidak kecuali bila akumulasi minyak telah banyak maka daerah pantai ini harus mendapat prioritas untuk dilindungi 
8
Pesisir Berbatu yang Terlindungi
Pantai dengan hantaman gelombang yang terendam, minyak dapat bertahan selama bertahun-tahun , pembersihan tidak diperlukan kecuali jika jumlah minyak telah banyak
7
Pantai Berkerikil
Seperti indeks No 6, lapisan aspal yang keras dapat terjadi karena akumulasi minyak yang telah banyak
6
Pantai Berpasir dan Berkerikil
Minyak akan mengalami penetralan cepat dan terkubur oleh keadaan energi ombak yang sedang sampai rendah, minyak dapat bertahan selama bertahun-tahun
5
Dataran Pasang Surut yang padat dan Terbuka
Sebagian besar minyak tidak akan melekat atau menembus pantai pasang-surut yang padat dan terbuka, pembersihan biasanya tidak diperlukan
4
Pantai Berpasir Kasar
Minyak akan mengendap dan/atau terkubur dengan cepat, membuat pembersihan menjadi sulit, kondisi gelombang sedang sampai besar, minyak akan menghilang secara alami dalam beberapa bulan
3
Pantai Berpasir halus
Minyak biasanya akan menembus jauh ke dalam endapan, pengangkatan secara mekanis dilakukan bila dipandang perlu, atau sebaliknya minyak akan bertahan selama beberapa bulan
2
Tebing Tererosi Ombak
Terkena hempasan ombak, hampir sebagian besar dan minyak akan hilang oleh proses alami dalam beberapa minggu, pembersihan tidak diperlukan
1
Karang Terjal Terbuka
Hempasan balik dari ombak membuat sebagian besar minyak menjauhi pantai, pembersihan tidak diperlukan
Sumber: Sloan (1993), dalam Dahri dkk (1996)

Dampak dengan manitude yang sangat besar seperti tumpahan minyak akibat tenggelamnya kapal tengker Showa Maru di Selat Malaka tahun 1974 dan Exon Valdiz di Alaska tahun 1990, kegiatan pembangunan pada ekosistem perairan umumnya tidak dapat dilihat secara langsung (dalam jangka waktu yang pendek). Dampak tersebut biasanya bersifat kronis dan komulatif yang baru dapat dilihat atau dirasakan beberapa tahun setelah kegiatan pembangunan yang menimbulkan dampak tersebut dimulai. Contoh klasik adalah peristiwa pencemaran logam berat (Hg dan Cd) di Teluk Minamata Jepang. Bangsa Jepang telah membuang limbah logam berat ke dalam teluk tersebut sejak tahun 1940-an, tetapi dampaknya baru terdeteksi pada tahun 1960-an. Contoh lain adalah turunnya kualitas perairan pantai Utara Jawa, yang sebenarnya sudah tercemar oleh buangan air tambak udang yang dikelola secara intensif. Kegiatan budidaya tambak udang secara intensif yang banyak membuang limbah organik ke dalam perairan pantai, sudah berlangsung sejak tahun 1981, akan tetapi dampaknya pada perairan pantai (yang dicerminkan melalui tingkat pencemaran organik, yang meningkat dan produktivitas tambak yang menurun) baru dapat dirasakan sejak tahun 1990.

b. Dampak Pencemaran
Dampak negatif pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia atau bahkan menyebabkan kematian, mengurangi atau merusak nilai estetika lingkungan pesisir dan lautan, dan merugikan secara sosial-ekonomi. Berikut ini diuraikan bentuk dampak pencemaran perairan pesisir dan lautan.
1. Sedimentasi
            peningkatan buangan sedimen ke dalam ekosistem perairan pesisir akibat semakin tingginya laju erosi tanah yang disebabkan oleh kegiatan pengurusakan hutan, pertanian, dan pembangunan sarana dan prasarana, dapat membahayakan kehidupan di lingkungan pesisir. Dampak negatif sedimentasi terhadap biota perairan pesisir secara garis besar melalui tiga mekanisme. Pertama, bahan sedimen menutupi tubuh biota laut, terutama yang hidup di dasar perairan (benthic organisme) seperti hewan karang, lamun, dan rumput laut, atau menyelimuti sistem pernafasannya (insang). Akibatnya, biota-biota tersebut akan susah bernafas, dan akhirnya akan mati lemas (asphyxia). Kedua, sedimentasi meningkatkan kekeruhan air. Kekeruhan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk kedalam air dan mengganggu organisme yang memerlukan cahaya. Efek ini lebih berpengaruh pada komunitas dasar dalam kisaran kedalaman yang memungkinkan bagi komunitas tersebut untuk hidup, contohnya lamun (seagrass) yang akan terganggu pertumbuhannya jika kekurangan cahaya (Dennis, 1987, dalam Dahuri dkk, 1996). Partikel yang terdapat dalam air dapat juga mempengaruhi tingkah laku makanan dari zooplankton. Tiga, sedimen yang berasal dari lahan pertanian dan pengikisan tanah dapat pula mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi. Hal ini dapat menimbulkan masalah eutrofikasi. Kandungan fosfat terikat kuat dengan partikel tanah, dan biasanya tanah yang telah dipupuk (super fosfat) akan mengandung fosfat dengan konsentarasi yang lebih tinggi.
2. Eutrofikasi
            Eutrofikasi terjadi ketika suplai nutrien (terutama nitrogen dan fosfat)di dalam suatu sistem perairan meningkat melebihi batas kemampuan fotosintesis normal suatu komunitas dalam sistem tersebut. Produktivitas dari sebagian besar sistem perairan dapat dipengaruhi oleh terbatasnya masukan nutrien, misalnya fosfat dalam sistem perairan tawar, namun hal ini lebih sering terjadi terhadap nitrogen di dalam sistem perairan laut (Howarth, 1988, dalam Dahuri dkk, 1996). Penambahan suplai nutrien ke dalam periaran akan meningkatkan pertumbuhan tanaman dan mikro organisme yang tergolong dalam kelompok fitoplankton. Dengan peningkatan jumlah organisme tertentu yang terdapat di kolam air secara drastis mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat, sehingga kandungan oksigen di perairan menurun, terutama di dasar perairan. Pada kondisi kekurangan oksigen (anoxia) di perairan, maka proses anaerob akan terjadi dan akan menghasilkan sulfat dan metana (beracun). Hal ini menyebabkan kematian ikan, yang mempengaruhi perubahan struktur komunitas dasar (bentik).
3. Anoxia
            kondisi anoxic terjadi bila organisme pengguna oksigen dan proses yang menggunakan oksigen di dalam air berada pada kisaran yang lebih besar dari ketersediaan oksigen yang berasal dari udara atau hasil fotosintesa. Umumnya penyebab timbulnya anoxia adalah kelebihan subtansi yang menggunakan oksigen (contohnya bahan organik) dan sering dikombinasikan dengan stratifikasi kolam air yang menghalangi oksigen dari kolam air permukaan ke dasar perairan. Kondisi anoxic dapat timbul secara alami pada tingkat kedalaman perairan tertentu, misalnya lapisan anoxic yang alami, dan oksigen hanya tersedia pada kedalaman hingga 150-200 meter. Pemasukan bahan organik yang tinggi dari sungai-sungai telah membuat area anoxic dan hipoxic (kandungan oksigen rendah). Anoxic dapat menyebabkan kematian ikan dan avertebrata dasar dan bila kondisi ini berkepanjangan, dapat menghalangi keberlanjutan populasi ikan. Bila terjadi dekomposisi bahan organik dalam kondisi anoxic maka akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Bau tersebut berasal dari senyawa toksik, misalnya H2S.
4.       Masalah Kesehatan Umum
Limbah rumah tangga banyak mengandung mikroorganime diantaranya bakteri, virus, fungi dan protozoa yang dapat bertahan hidup sampai ke lingkungan laut. Meskipun limbah rumah tangga mendapatkan perlakuan untuk mengurangi kandungan mikroorganisme, hingga mencapai sejumlah 10.000/ml atau lebih. Tetap saja mikroorganisme yang bersifat patogen ini menimbulkan masalah kesehatan manusia.mikroorganisme pada limbah rumah tangga dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi di lingkungan laut, tergantung pada suhu dan sinar matahari. Virus umumnya lebih tahan daripada bakteri, tetapi pengetahuan tentang perbedaan ketahanan hidup dalam kisaran besar terhadap organisme ini, masih sangat minim.
5.       Pengaruh Terhadap Perikanan
Pencemaran perairan akan mempengaruhi kegiatan perikanan, karena secara langsung maupun tidak langsung akan menguragi jumlah populasi, kerusakan habitat dan lingkungan perairan sebagai media hidupnya. Kondisi yang berpengaruh terhadap kegiatan perikanan diantaranya menurunnya kandungan oksigen dalam perairan (anoxic) yang akan menyebabkan pembatasan habitat ikan, khususnya ikan dasar dekat pantai, eutrofikasi perairan yang menyebabkan pertumbuhan alga yang tidak terkendali (blooming alga). Pencemaran limbah rumah tangga dapat mempengaruhi keamanan dalam mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan. Masalah ini terjadi, akibat terkontaminasinya limbah rumah tangga yang bersifat patogen dan berbahaya (contohnya tipoid, logam beracun, dan pestisida).
6.       Kontaminasi Trace Elmen Dalam rantai Makanan
Kemungkinan besar kontaminan di air akan terakumulasi dalam siklus rantai makanan. Hewan yang berada di tingkat atas dalam suatu rantai makan dapat mengakumulasi racun kontaminan. Fenomena ini dikenal sebagai bioakumulasi atau biomagnifikasi yang merupakan masalah predator (top konsumen) seperti elang laut. Beberapa organisme mempunyai kemampuan untuk mengontrol jumlah racun dalam tubuh mereka melalui proses pengeluaran, sementara organisme lain tidak dapat melakukan hal ini. Organisme yang tidak dapat mengontrol jumlah racun akan mengakumulasi polutan, dan jaringan mereka menunjukkan indikasi adanya polutan. 
7.        Keberadaan Spesies Asing
Selain bahan-bahan abiotik, air limbah juga mengandung bahan biotik. Bila memasuki suatu ekosistem perairan, akan mengakibatkan hadirnya spesies asing di perairan penerima limbah. Sebagai contoh adalah pembuangan air ballast kapal. Dalam air ballast kapal banyak dijumpai berbagai jenis bakteri, virus, alga, cacing polychaeta, larva ikan, dan moluska. Dalam banyak kasus keberadaan spesies asing di suatu tempat yang baru dapat berkembang tidak terkontrol dan dalam jumlah yang sangat besar.    
3.2. Kerusakan Fisik Habitat
            Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut. Sebagai contoh adalah luas ekosistem mengrove di Indonesia yang telah mengalami penurunan dari 5.209.543,16 ha pada tahun 1982 menjadi sekitar 2.500.000 ha pada tahun 1990 (luas penutupan mnurun sampai 50%). Penurunan luas hutan mangrove ini berkaitan dengan permasalahan sebagai berikut;
1. konversi kawasan hutan mangrove menjadi berbagai peruntukan lain seperti tambak, permukiman, dan kawasan industri secara tidak terkendali,
2. belum ada kejelasan tata ruang dan rencana pembangunan wilayah pesisir, sehingga banyak terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan pembangunan,
3. penebangan hutan mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan, dan kegunaan lainnya melebihi kemampuan untuk pulih (renewable capacity),
4. pencemaranakibat pembuangan limbah minyak, industri, dan rumah tangga,
5. pengendapan (sedimentasi) akibat pengelolaan kegiatan lahan atas yang kurang baik,
6. proyek pengairan yang dapat mengurangi aliran masuk air tawar (unsur hara) ke dalamekosistem hutan mangrove,
7. proyek pembangunan yang dapat mengalami atau mengurangi sirkulasi arus pasang-surut,
8. data informasi serta IPTEK yang berkaitan dengan hutan mangrove masih terbatas, sehingga belum dapat mendukung kebijakan atau program penataan ruang, pembinaan dan pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan (on a sustainable basis).
Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah d Indonesia adalah ekosistem terumbu karang. Tingkat kerusakan terumbu karang diamati berdasarkan pada persentase penutupan karang hudup danbiota hidup lainnya. Menurut Kantor Negara Lingkungan Hidup (1993) 14% ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, 46% telah mengalami kerusakan, 33% dalamkeadaan baik, dan hanya 7% dalamkeadaan sangat baik. Faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang di wilayah  pesisir dan lautan Indonesia, antara lain adalah;
1. penambangan batukarang untuk bahan bangunan, pembangunan jalan, danhiasan (ornaments),
2. penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan alat tangkap tertentu yang pengoperasiannya dapat merusak terumbu karang,seperti muroami,  
3. pencemaran perairan oleh berbagai limbah industri, pertanian, dan rumah tangga baik yang berasal dari darat (land based activities), maupun kegiatan di laut (marine based activities),
4. pengendapan (sedimentasi) dan peningkatan kekeruhan perairan dalamekosistem terumbu karang akibat erosi tanah di daratan maupun kegiatan penggalian dan penambangan di sekitar terumbu karang,
5. eksplitasi berlebihan sumberdaya perikanan karang.
Sementara itu untuk kondisi kerusakan fisik ekosistem rumput laut, padang lamun, dan estuaria, hingga saat ini belum ada data kuantitatif yang dapat memberikan informasi secara nyata. Akan tetapi di beberapa kota besar di Indonesia misalnya di Teluk Jakarta , kualitas air di estuaria telah mengalami pencemaran berat denganlimbah industri, domistik dan permukiman.  
3.3. Pemanfaatan Sumberdaya Laut yang Berlebihan
            Ketika pemanfaatan (fishing effort) lebih besar daripada tangkapan optimum (maximum sustainable yield), maka akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan (overexploitated). Salah satu sumberdaya laut yang telah dieksploitasi secara berlebihan adalah sumberdaya perikanan. Kondisi ini bukan hanya disebabkan oleh tingkat penangkapan yang berlebihan potensi lestarinya, tetapi juga disebabkan oleh pencemaran dan degradasi fisik hutan mangrove, padang lamun, dan terubu karang yang merupakan tempat peminjahan, asuhan, dan mencari makan bagi sebagian besar biota laut. Aktivitas perekonomian utama yang menimbulkan permasalahan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan adalah;
  1. perkapalan dan transpotasi: tumpahan minyak, air ballast, limbah padat dankecelakaan,
  2. pengilangan minyak dan gas: tumpahan minyak, pembongkaran bahan pencemar, konversi kawasan pesisir,
  3. perikanan: overfishing, destruksihabitat, pencemar pesisir, pemasaran dan distribusi, modal dan tenaga/keahlian,
  4. budidaya perikanan: ekstensifikasi dan konversi mangrove,
  5. kehutanan: penebangan dan konversi hutan,
  6. pertambangan: penambangan pasir dan terumbu karang,
  7. industri: reklamasi dan pengerukan tanah,
  8. periwisata: pembangunan infra struktur dan pencemaran air.
Adapun akar permasalahan (penyebab utama) kerusakan lingkungan tersebut adalah sebagai berikut:
1. kurangnya pemahaman dan apresiasi sebagian besar perencana, pengambil keputusan,dan pelakau pembangunan akan pentingnya nilai strategis sumberdaya yang dapat diperbaharui (seperti: perikanan, kayu, mangrove, dan terumbu karang) serta kebersihan lingkungan pesisir bagi kelangsungan pembangunan,
2.pengelolaan kegiatan pemanfaatan kawasan pesisir dan lauta selama ini umumnya dilakukan secara sektoral dan berorientasi pada keuntungan jangka pendek secara maksimal.
3.struktur dan kinerja kelembagaan yang tidak dapat digunakan untuk mengelola kegiatan pembangunan kawasan pesisir secara terpadu guna mencapai hasil yang optimal dan berkesinambungan,
4.rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir  dan kelautan secara berkelanjutan serta menguntungkan bagi raktyat,khususnya masyarakat pesisir,
5.kekurangan sumberdaya manusia yang dapat melakukan kegiatan pengelolaan kawasan pesisir dan lautan secara terpadu, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi,
6.kekurangan data dan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam program perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara nasionaldan berkesinambungan.     
3.4. Abrasi Pantai
            Abrasi pantai dapat diakibatkan oleh proses alami, aktivitas manusia, atau kombinasi keduanya. Erosi kawasan pesisir di Indonesia utamanya disebabkan oleh gerakan gelombang pada pantai terbuka. Di samping itu juga karena keterkaitan ekosistem, maka perubahan hidrologis dan osenografis juga dapat mengakibatkan erosi kawasan pesisir. Sebagai contoh, kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas (up land) yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah mengakibatkan peningkatan laju erosi dan masukan beban kedalam perairan sungai, dan akhirnya sedimen ini akan terbawa oleh aliran airsungai serta diendapkan di kawasan pesisir.
3.5. Konversi Kawasan Lindung Menjadi Peruntukan Kawasan Pembangunan Lainnya
            Pembangunan kawasan pesisir dan lautan mempunyai ruang lingkup yang luas, meliputi banyak aspek dan sektor. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah aspek ekologis, aspek sosial budaya, aspek ekonomi, politik, serta aspek pertahanan dan keamanan. Sedangkan beberapa sektor pembangunan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung adalah pengembangan kawasan permukiman, industri, rekreasi, dan pariwisata, transportasi, serta kehutanan dan pertanian. Beberapa contoh kegiatan pembangunan yang banyak dilakukan di wilayah pesisir dan lautan adalah:
  1. pembangunan kawasan permukiman di kawasan pesisir dan laut secara meningkat, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan peduduk akan fasilitas tempat tinggal,
  2. kegiatan idustri yang dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan ditujukan untuk: (a) meningkatkan dan memperkokoh programindustrialisasi dalam rangka mengantisipasi pergeseran struktur ekonomi nasional dari dominan primary based industri menuju secondary based industri dan tertiery based industri, (b) menyediakan kawasan industri yang memiliki akses yang baik terhadap bahan baku, air untuk proses produksi dan pembuangan limbah dan transportasi produk maupun bahan baku,
  3. kegiatan rekreasi dan pariwisata bahari yang banyak dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan,
  4. konversi hutan menjadi lahan pertambakan tanpa memperhatikan terganggunya fungsi-fungsi ekologis hutan mangrove terhadap lingkungan fisik dan biologi..
Adapun gambaran tentang aktivitas erosi pada permukaan tanah pada daerah atas sampai ke wilayah pesisir dapat dilihat pada Gambar 12.1
Gambar 12.1. Aktivitas Erosi Pada Permukaan Tanah Pada Daerah Atas Sampai Ke Wilayah Pesisir




















Sumber: Dahuri, dkk, 2001

3.6. Bencana Alam
            Bencana alam merupakan fenomena alami baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang merupakan dampak negatif bagi lingkungan pesisir dan lautan. Beberapa bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir dan lautan adalah; kenaikan muka airlaut, gelombang pasang tsunami, dan radiasi ultra violet. Dalam beberapa dasawarsa sekarang ini banyak penelitian dan laporan mengenai dampak pemanasan iklim global terhadap wilayah pesisir dan lautan. Namun dari sekian banyak laporan, sampai saat ini belum dapat diramalkan dampak secara kuantitatif terhadap wilayah pesisir dan lautan maupun lingkungan alam yang lainnya.   Adapun gambaran pusat gempa di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 12.2.
Gambar 12.2. Persebaran Pusat Gempa di Indonesia Tahun 1990-2003
Gambar 12.2 Pusat Gempa di Indonesia yang Menyebabkan Terjadinya Tsunami Tahun 1900-2003
  








Sumber: Bappeda Padang 2003







I.        Pertanyaan/Tugas

1.       jelaskan karakteristik sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources)?
2.       jelaskan karakteristik sumberdaya yang tidak dapat pulih (unrenewable resources)?
3.       jelaskan jasa-jasa lingkungan yang terdapat pada wilayah pesisir dan lautan?
4.       Jelaskan penyebab terjadinya bencana alam tsunami yang banyak menelan korban pada kawasan pesisir?

II.      Sumber

Brodie, J. 1995. Wate Quality and Polution Control.in Kenji Hotta and Aan Dutton (ED). Coastal Management in the Asia Pasific: issues and approaches. Japan International marine Science and Techology federation, Tokyo

Dahuri, H., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.j., 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.

Sloan,N.A.1993. Effect of Oil on Marine Resources: A World Wide Literature Review Relation ti Indonesia> Environment Management Development in Indonesia (EMDI) project Jakarta.

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.

No comments:

Post a Comment

Sebaran Wisata di Nagari Sungai Pinang